Dilema EURO
Oleh : Aslan Saputra
Ironi. Ya, ironi melihat kondisi manusia saat ini. Apalagi yang tengah bertengger di romatisme sepak bola, Euro. Betapa tidak, perasaan cinta itu meruak hingga ke seluruh lini kehidupannya. Di kantor, rumah, kampus, cafe, tempat nongkrong, hingga di televisi semua asyik membahas tentang pertandingan semalam. Tak apa lah, itu memang hobi mereka. Namun, ada yang mengganjal dihati ini. Bukan karena cemburu, tapi lebih karena prihatin.
Sejenak kita lihat kehidupan mereka (Penonton,pemerhati,komentator,penggila Bola-red). Setiap topik pembicaraan yang nyerempet dengan bola, dengan sangat antusiasnya langsung ikutan nimbrung. Mulai dari strategi tim, kelemahan lawan, prediksi kemenangan, kondisi fisik pemain hingga silsilah pemain dengan sangat akurat dipaparkan. Bahkan kadang kala juga tahu isi hati para pemain (mungkin sempat curhat dengannya). Sebelumnya yuk kita beri applause untuk mereka. Kemudian, mari kita mendoakan mereka. Lha, Kenapa harus mendoakan mereka?
Sebelum menjawab itu, ayo kita tanyakan kepada mereka, tanggal berapa rasulullah di lahirkan? Dengan spontan mereka menjawab “12 Rabiul Awwal !”. Yee.. ayo kita beri tepuk tangan lagi. Nah gimana dengan, kapan Rasulullah hijrah ke Madinah? Siapa nama anak-anak Rasulullah? Kapan terjadinya perang badar? Nah lho? ( Serentak semua hening cipta. Khusyuk). Ironi bukan? Dengan ligatnya menjelaskan kronologi pertandingan bola semalam, tapi gagap ketika ditanya tentang sejarah Rasulnya.
Tapi ada satu hal yang membuat mereka lebih ‘baikan’. Satu bulan lagi menjelang Ramadhan, mereka sudah ‘melatih’ diri untuk bangun malam. Alhamdulillah. Tapi mirisnya, mereka bangun bukan untuk melaksanakan Qiyamullail, tapi malah rela dan setia untuk menonton Big Match. Giliran shalat tahajud lima menit aja baru ogah-ogahan. MasyaAllah!
Coba sejenak kita pikir, apa dorongan terbesar mereka untuk nonton bola? “Eh, kami bola mania bro!”. Oke, itu masih bisa diterima. Tapi giliran di ajak shalat malam, “Waduh, kagak kuat bro bangun malam-malam. Udah direncanain tapi tetap aja susah bangun”. Bahkan yang lebih parah shubuh pun kelewatan. Dari segi manfaat, jelas tahajud yang lebih besar manfaatnya. Tapi tetap aja gak bisa bangun. Nah, pas nonton bola, gak disuruh bangun pun bisa bangun. “Gak tau ni kenapa. Memang kebangun sendiri”, kata mereka.
Terkuaklah satu rahasia manusia. Sebenarnya selama ini bukan ketidakmampuan kita yang menghambat untuk mengerjakan sesuatu, tetapi ketidakmauan kitalah sebenarnya yang menjadi penghambat tersebut. Bukan gak terbangun shalat tahajud, tapi memang gak mau shalat tahajud. Bukan telat bangun shubuh, tapi memang gak niat shalat shubuh. Naudzubillah.
Ah, gimana sih, itukan hobi, ya jangan di kaitkan dengan agama lah. Ya pasti kagak nyambung. Tenang mas! Siapa juga yang kaitkan dengan agama? Geer banget sih. Gak ada yang melarang kita untuk suka terhadap suatu hobi, entah itu sepak bola, musik, menggambar dan hobi-hobi lainnya. Tapi yang sangat ironi adalah, kita tidak pernah memperhatikan bahkan sampai menganak-tirikan agama. Giliran agama aja tolak-tolakan. Waktu pembagian baju bola gratisan baru tolak-tolakan (tolak-tolakan karena takut enggak kebagian antrian).
Sahabatku semua pencinta bola! Ada kalanya kecintaan kita terhadap sesuatu, apapun itu harus kita seimbangkan dengan kecintaan kita terhadap islam. Bayangkan betapa indahnya amalan kita jika dilandasi dengan perasaan cinta. Bahkan sesekali islam cemburu dengan romantisme kita terhadap bola. Rasa sedih ketika meninggalkan shalat jauh berbeda ketika sedih ketika tim impian kalah di semifinal. Tidak bisakah engkau memberikan ruang dihatimu untuk islam?
Aduh bro, agama gak usah betul-betul kali kita kerjain. Nanti terpaksa harus pelihara jenggot, pakai baju muslim tiap hari, pakai peci putih, terus harus bangun shubuh tiap hari. Ah, gak kuat kita nanti. Nah, siapa bilang kita tidak kuat, buktinya gak tidur sampai jam tiga pagi juga tahan. Kumpulin uang beli baju bola tim kesayangan. Baca artikel penjelasan bola sampai sepuluh alamat di internet. Lagipula kita juga tidak harus memakai peci, baju muslim tiap hari. Nah, kenapa pula distadion bola ada suporter yang relain harus mengecat wajahnya serupa dengan warna baju timnya? Padahal kan gak ada yang nyuruh. Itulah salah satu perbuatan yang didasari cinta. Berani berbuat lebih demi mengharap kemenangan tim kesayangan. Begitu juga dengan Islam.
Sebenarnya islam itu tidak susah kok. Kalau kita logika kan, malahan lebih ribet jadi bola mania. Baca sepuluh artikel berbeda tentang bola sanggup, eh baca alquran dua halaman gak sanggup. Kumpulin uang beli baju bola sanggup, eh giliran sedekah untuk beli tiket surga aja ogah-ogahan. Bangun malam untuk nonton bigmatch tahan, tapi giliran shalat tahajud buka matapun susah banget. (matanya udah dilem duluan-wew). Yang mana sih yang susahnya?
Kawan, Ramadhan sudah dekat. Mari kita persiapkan diri kita untuk bulan mulia itu. kalau saja kalian tahu, kalau saja kalian memahami, islam itu sangat indah. Indah sekali. Jauh lebih indah ketika kita duduk bersama kekasih sambil menikmati sunset di pinggir pantai Bali. Ataupun jauh lebih indah ketika penggemar chelsea menjadi saksi ketika Didier Drogba melesatkan tendangan supernya ke arah gawang tim Bayern Muchern. Ayo kita jadikan Ramadhan nanti ladang amal yang bertaburan cinta. Seperti cinta kita kepada bola. Seperti perasaan kita ketika menikmati pertandingan Euro, tahun ini.
bagus. . .
ReplyDeleteAlhamdulillah.. terima kasih ardiansyah
ReplyDeletemarhaban ya ramadhan... :)
ReplyDeleteMarhaban ya Ramadhan :)
ReplyDelete