Sakit Yang Berbeda
Kalau sakit begini, jadi ingat dulu,
saat dimana ingus masih belum bisa aku bersihkan sendiri. Saat itu aku masih
belum mengerti, suhu badan ku seperti dipadang Afrika tapi entah kenapa aku
menggigil seperti orang kedinginan. Saat
itu bantal guling menjadi teman yang paling diandalkan. Memeluknya membuat
tubuh sedikit lebih tenang, lebih nyaman.
Walau guling saat itu menjadi
teman yang paling diandalkan, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan curahan
kasih sayang ibu. Saat itu ibu bagaikan seorang bidadari. Ia memelukku, mencoba
mengalirkan suhu tubuhku ketubuhnya. Bahkan, ibu sering menempelkan kedua
tanganku di dahinya, agar panas yang ada ditubuhku dapat mengalir padanya. Saat
itu, benar-benar indah. Seakan-akan sakit yang aku alami saat itu seketika
lenyap, berganti dengan perasaan damai, nyaman dan tenang.
Ketika suhu tubuh tidak seimbang
seperti ini, dulu aku paling sering mimpi buruk. Rasa-rasanya, perasaan panas
itu membuat kedua kelopak mataku sulit untuk dibuka lebar, seperti tirai yang
telah longgar talinya, dipasang bagaimanapun tetap saja tirainya tidak bisa
digerai dengan lebar. Keadaan itu membuat mataku selalu terpejam. Pada awalnya
semua menjadi gelap, pekat. Beberapa detik kemudian aku seakan-akan berada didunia yang entah
berantah.
Semua yang ada disekelilingku
menjadi besar. Mulai dari dinding rumah, kipas angin, meja, kursi, semuanya
berubah menjadi besar. Mereka bergerak-gerak seperti sekelompok tentara yang
sedang pemanasan sebelum berperang. Yang paling menakutkan mereka memiliki mata
dan mulut, juga kedua tangan. Mereka mendekat, dan memanggil-manggil namaku. Disekelilingku
semuanya berputar, tangan-tangan mereka mulai mendekatiku, semakin dekat dan
suara mereka pun semakin besar, dan Tidak!! Spontan aku terbangun dengan
keringat yang bercucuran di kening dan leher. Kulihat disekitar dan semuanya
dalam kondisi normal. Akupun mencoba memejamkan mata lagi dan baru sebentar
bayangan-banyangan itu kembali lagi. Akhirnya aku mencoba untuk tidak tertidur
dan bertahan dengan kelopak mata yang semakin sayu. Aku ketakutan.
Lagi-lagi ibu memang sosok yang
paling indah. Ia datang dan mencoba menenangkanku. Mencoba menghilangkan
bayangan-bayangan buruk itu dengan cerita-cerita yang menggembirakan. Sambil mengurai
rambut-rambutku yang masih tipis, mencoba menyakinkanku bahwa mimpi itu tidak akan
ada lagi. Ia berjanji akan terus berada disisiku hingga aku bangun kembali. Saat
itu, ketika aku kembali memejamkan mata, semua bayangan itu kembali muncul
namun tidak mendekat lagi kepadaku. Sedikit demi sedikit mereka menjauh dan
disekelilingku pun menjadi cerah. Aku baru sadar kalau suhu tubuhku mulai
berkurang.
Ah, saat-saat itu memang
benar-benar indah. Ingin rasanya selalu sakit agar bisa selalu mendapat
perhatian dari ibu. Ketika sakit dahulu, ibu selalu menjanjikan makanan dan kue
yang enak jika aku mau meminum obat yang
diberikan oleh dokter. Dulu obat tablet itu begitu besar dan aku sangat takut
kalau-kalau diperjalanannya menuju lambungku terhenti di kerongkongan. Ibu menawarkan
solusi yang menurutnya itu adalah cara
yang paling mudah untuk meminum obat. Obat itu berubah menjadi bubuk-bubuk
menjijikkan yang dicampur dengan sedikit air hingga berwarna vanilla basi. Obat
itu berhasil membuat lidahku pahit selama berjam-jam. Walaupun itu sangat menjijikkan,
tapi dengan terpaksa aku telan cepat-cepat demi menagih janji-janji makanan
enak itu. Sekarang aku baru tahu kalau
itu adalah solusi yang paling buruk.
Kini semua terasa berbeda. Guling
yang sampai sekarang masih menjadi teman andalanku juga tahu bagaimana
perasaanku saat ini. Ia tahu kalau rasa sakitku ini berlipat-lipat, walau telah
seerat-erat mungkin aku memeluknya. Sehangat-hangatnya tubuhku saat ini,
ternyata tidak mampu mengalahkan hati yang mulai hangat mengenang masa-masa
indah itu, masa-masa ingusan dulu.
Masa-masa ini, memang masa-masa
yang paling berat. Ketika mozaik-mozaik keceriaan masa kecil berganti dengan
ganasnya kehidupan dunia yang berat dan penat. Bahkan untuk mencurahkan
kepenatan hati ini saja aku tidak sanggup. Hanya bisa menyimpannya dalam-dalam,
mencoba membungkusnya dengan sabar, dan menahan setiap derita yang kian hari
kian deras hujamannya. Begitu berat dan menyusahkan.
Sebenarnya bisa saja aku
mengumbarnya kepada siapa saja yang menurutku bisa untuk menampung semua keluh
kesahku. Tapi kemudian apa? Ia hanya menjadi sebuah tong penampung kisah
mengharukan, lantas ketika ia selesai mendengarnya ia hanya bisa menepuk pundakku
sambil berkata “sabar ya”. Masalahku juga tidak berkurang sedikitpun. Teringat perkataan
Nabi Syu’aib, “Hanya kepada Allahlah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”.
Kalimat itulah yang membuatku sampai saat ini masih menahan segala kepenatan dunia ini di
dalam hatiku, hati yang mulai berkarat, mulai berat. Hati yang juga menahan
rindu dan mencoba tegar mengingat kisah-kisah indah dulu, saat masih bersama
ibu.
Semoga sakit ini lekas menghilang
bersama perasaan-perasaan rindu itu.
#Di Kota Aslan Saputra, dengan
cuaca yang sangat panas, yang sesekali terjadi gempa di sekitar kepala bagian
kanan. 30 January 2013 22.17 WIB
cepat sembuh ya lan..
ReplyDeletedengan sakit kita akan makin bersyukur betapa nikmatnya sehat itu..
hahaha.. sama-sama ru..
ReplyDeleteSakit akibat tumbukan source code program -_-"