Aku Dan Jiwa Menggambar
Menggambar itu bagiku seni. Kalau kata seniman-seniman terkenal, menciptakan satu produk seni itu butuh soul! Butuh perasaan untuk membuatnya. Begitu juga denganku, menggambar itu tergantung dengan perasaanku ketika ingin menggambar.
Entah kenapa, dari kecil aku
paling sering coret-coret. Coret buku, coret dinding, coret tanah, coret baju,
coret wajah, sampai coret harga diri.
Kalau lihat dinding tu ya, pasti
banyak garis-garis retak gitu. Lima menit mandang tembok dengan khusyuk,
langsung aja retakan-retakan itu berubah jadi gambar. Ada yang mirip gambar
pria tua berkumis, ada yg mirip superhero lagi terbang, ada yang mirip hidung
guru olahraga, sampai mirip monster berkepala dua. Semuanya tampak nyata.
Masa kanak-kanak pun aku isi
dengan menggambar di buku gambar besar. Dengan modal crayon dan spidol warna
warni, aku menggambar apa adanya. Kalau biasanya teman-teman menggambar
pemandangan, tarik garis buat gunung, bikin jalan, bikin sawah, bikin awan,
bikin matahari, bikin huruf w terbalik untuk dijadiin burung. Aku malah
menggambar planet, menggambar istana beruang, sampai menggambar kereta api
dengan seribu roda.
Entah kenapa setiap aku
jalan-jalan sendiri di kebun samping rumah, selalu aja asyik sendiri. Kadang lama-lama
perhatikan rumput-rumput panjang yang belum di potong. Dalam pikiranku langsung
mengganggap itu adalah hutan kematian. Bagaimana jika aku tiba-tiba berubah
menjadi kecil, lalu harus menelusuri hutan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah
agar dapat kembali menjadi besar? Saat itu aku terlalu sibuk dengan imajinasi.
Masuk sekolah dasar, aku sudah
mulai membaca buku-buku komik. Kadang sore-sore sendirian naik sepeda meluncur
ke toko rental komik. Dengan modal uang jajan yang aku sisihkan setiap pulang
sekolah, dalam seminggu aku bisa membaca sampai delapan judul komik.
Pertama-tama karena seru, aku
mencoba meniru gambar-gambar yang ada di komik-komik itu. Karena melihat
beberapa gambar berhasil dibuat dengan baik, maka akupun mencobanya dengan
menggambar hal-hal lain. Kadang gambar digimon sendiri. Kadang gambar super
hero sendiri. Kadang gambar muka sendiri.
Hasilnya, di kelas tiga SD, aku
sudah menggambar komik sendiri di buku garis-garis. Kalau sudah satu buku
habis, beli lagi buku lain. Memang sih komiknya tidak begitu bagus gambarnya,
apalagi ceritanya. Tapi ketika aku menggenggam buku yang kini agak tebal karena
telah dipenuhi coretan-coretanku itu, ada perasaan bangga dan kagum. Ternyata aku
bisa menggambar kawan, aku bisa menggambar! Hiks.
![]() |
Salah satu komik yang aku buat |
Tapi ada yang aneh dari bakat
menggambarku itu. Bagaimanapun inginnya aku menggambar, aku tidak pernah bisa
menghasilkan gambar yang bagus kecuali memang benar-benar punya keinginan yang
besar untuk menggambar. Waktu kelas enam SD aku ditawarkan untuk mengikuti
lomba melukis dengan syarat harus menggambar sebuah lukisan persis dengan
contoh yang diberikan guru dalam waktu satu malam.
Entah kenapa malam itu aku tidak
ingin menggambar persis sama seperti gambar itu, maka akupun membuatnya dengan
caraku sendiri. Di depan kertas kosong besar aku berpikir seperti apa gambar
yang aku buat. Aku merenung, mencoba mencari sketsa unik untuk calon gambarku. Satu
menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, aku terlelap. Meninggalkan kertas
besar itu tanpa sedikitpun tinta.
Keesokan harinya aku gugur karena
tidak menyiapkan contoh lukisan untuk di lihat kepala sekolah. Karena frustasi
tidak terpilih, akupun pulang ke rumah dan mulai menggambar di kertas kosong
itu. Entah apa yang aku rasakan, tangan ini terus menarik garis ke sana dan ke sini.
Hasilnya, akupun mengucek-ngucek mata tidak percaya. Aku berhasil membuat satu
buah lukisan dengan suasana perkampungan. Mirip mirip dengan contoh yang
diberikan ibu guru, tapi lebih aku sukai. By
the way, lukisan itu tetap gak ada artinya lagi.
Sampai kelas tiga SMA, aku masih
suka menggambar komik. Ceritanya memang tidak jelas, tapi cukup untuk membuatku
bangga. Kadang tiap malam aku menggambar sampai beberapa halaman sebelum
akhirnya tertidur. Di sekolah pun, kadang buru-buru pengen pulang karena ingin
melanjutkan komik itu.
Tapi sejujurnya, aku mengakui
kalau kemampuanku menggambar masih amatir. Komik-komik yang aku buat juga cuma
bisa untuk konsumsi pribadi. Kalau orang lain membacanya, yang ada malah buat
mereka mengerutkan dahi, karena bingung. Cerita gimana, gambar gimana. Ini komik
atau kertas nyari-nyari penyelesaian soal matematika?
Akhirnya karena sadar gambarku
tidak ada perkembangan. Akupun berhenti menggambar komik. Menggambar pun hanya
untuk menghilangkan jenuh mendengar penjelasan di sekolah. Kadang gambar ibu
guru punya tanduk. Kadang gambar teman punya sayap. Kadang gambar beruang pakai
dasi. Saat itu aku biarkan imajinasiku memegang kendali.
Sekarang, menggambar sudah lebih
susah. Kalau menggambar harus punya mood yang bagus. Paling tidak kalau moodnya
jelek juga masih bisa menggambar sih, tapi hasil gambarnya malah seperti gambar monster.
Abstrak.
Kalau ada teman yang minta di
gambarin, aku juga pusing sendiri. Bukan karena tidak mau, tapi lebih karena
susah mencari mood untuk menggambar. Akhirnya, kalau sekarang mau menggambar,
objeknya itu harus benar-benar istimewa. Misalnya gambar teman karena dia baik
dan unik, gambar seseorang yang istimewa, juga gambar orang yang benar-benar
membuatku harus menggambarnya. Intinya, gambarku kini sudah terbatas. Sudah eksklusif!
Kalau ada yang minta gambar
komersial, itu lain cerita. Aku masih bisa mengerjakannya karena money oriented. Tapi kalau kalian ingin tahu, bagiku
hasil-hasil gambarku yang di bayar itu sedikitpun tidak memiliki arti. Tidak ada
kepuasan melihat hasil gambarku itu. Yang ada malah puas melihat gambar
pahlawan di lembaran-lembaran uang. Aduh, parah deh!
Pada akhirnya, aku masih suka
menggambar kok. Bagiku, menggambar sama seperti bermain basket, sama seperti
menulis. Semua itu aku gunakan untuk mencurah segala yang melintas aneh di
pikiran dan perasaanku.
Kalau dulu setiap menggambar, aku
selalu ingin mendapat pujian, atau paling tidak ingin menyaingi gambar-gambar
orang lain. Sekarang, mengingat perjalanan hidupku semakin berwarna, orientasiku
tentang menggambar pun berbeda. Aku ingin setiap gambar yang aku buat bisa
membuat orang lain tertawa, tersenyum dan gembira. Entah kenapa setiap mereka
tertawa, tersenyum dan gembira setiap melihat gambar ataupun membaca tulisan
yang aku tulis, ada perasaan yang luar biasa. Tidak tahu seperti apa. Yang jelas
kebahagiaan mereka menjalar kepadaku. Itu saja.
Kini, aku menggambar untuk
mencurahkan perasaan saja. Untuk mengukir senyum bagi orang yang menerima
gambar yang aku buat. Untuk menggembirakan orang lain yang melihat
gambar-gambarku. Karena sekarang, aku menggambar dengan perasaan.
Wow! Seolah tergambar di hadapanku. (flash back)
ReplyDeleteMasa-masa rumit, di saat aku hanya mampu menggambar gunung, rumah, laut dan perahu. Aku memberi namanya gambar. Ya, hanya gambar.
Abstrak seabstrak-abstraknya. Sampai sekarang pun aku hanya mampu menggambarkan imajinasi di dalam batas angan. Lagi-lagi abstrak, seabstrak-abstraknya. Hanya aku yang mampu menikmatinya.
Persis, seperti saat orang serius nonton wayang. Begong, namun hatinya bertanya-tanya. Apa, siapa, kapan dan bagaimana? Terus maksud koment aku pun entah apa? Hahaha.. :D
Hanya aku, Tuhan dan pemilik abstrak yang tahu. Selebihnya paling cuma mengerti, tapi nggak tau persis. Sepersis-persisnya.
Aslan, Anda luar biasa. Salut (y) sesalut-salutnya.
#intinyacumakalimatterakhirdiatas
selebihnya?
ABSTRAK
Wah, terima kasih komentarnya bg.. komentar abang benar-benar abstrak. saya pun yg membacanya juga menjadi abstrak. semoga kita semua tidak selamanya menjadi abstrak. btw, abstrak itu tempat buang puntung rokok ya? haha
ReplyDeleteTidak perlu menjadi abstraker untuk menikmati abstrak. Doni dan Reza pun terkadang sering khilaf membedakan yang mana abstrak dan lantai. Kalau mata aku masih sehat, belum abstrak.
ReplyDeleteHaha...
ReplyDeletebener juga bg.. saya pun semakin pusing ni berbicara terus tentang abastrak. -_-"
aslan... keren.... menggambar adalah deretan pekerjaan yang tidak bisa kakak lakukan. waktu sd selalu minta tolong bapak kalau ada PR menggambar. atau minta tolong buat sketsanya dulu pas di sekolah tinggal dicat. daripada kk yang buat Toh hasil Akhirnya enggak jelas. hehehhw. curang ya? biarin aja emang enggak bisa.
ReplyDeleteHahaha... aslan dulu awal-awal gitu juga kak.. dari rumah udah buat gambarnya, sampai sekolah tinggal diwarnai aja :D
ReplyDelete