Pemegang Kata : Nakutuk
Lelaki tua itu
tampak yakin dengan keputusannya. Segala yang ia tahu telah ditulis di buku usang
berwarna coklat pudar itu. Mulai sejak ia mengenal ilmu beladiri hingga rasa
muaknya terhadap beladiri itu sendiri. Ya, ia akan pensiun dari seorang
pendekar. Segala jurus, teknik serta apapun yang menyebabkan ia terkenal seantero
dunia sebagai seorang pendekar sakti, ia tulis.
Malam kelam di
tambah guyuran hujan yang begitu lebat, pun tidak mengurungkan niatnya. Suara
deras air sungai semakin membuat pemandangan malam itu benar-benar mistis.
Bayangkan hanya ada ia dan sebuah buku coklat pudar disana. Seperti hendak
mengeksekusi mati buku itu. Sesekali jangkrik bersahut-sahutan menyindirnya,
tapi lagi-lagi tidak sedikitpun mengusik konsentrasinya dengan buku itu.
Baginya,
dengan menulis segalanya di buku itu, ia akan menjadi suci kembali. Menjadi
manusia normal. Tanpa perlu menegakkan keadilan, tanpa perlu meregang nyawa
manusia. Ia sudah muak dengan kehidupan seperti itu. Lantas, puncak kemuakannya
di lakukan dengan melempar buku itu ke sungai, sejauh-jauhnya. Biarkan buku itu
membawa segala ketenarannya, juga kesaktiannya. Serta menghapus namanya dari
dunia persilatan.
Byur!
Buku berwarna
coklat pudar bertuliskan Nakutuk
dalam bahasa cerpen itu, dibalut bungkusan hitam, terjun bebas ke sungai. Lantas
terombang ambing mengikuti deras air mengalir. Sesekali tenggelam, sesekali
muncul ke permukaan. Seakan-akan ingin menampakkan pada pemilik buku, kalau ia
tidak terima diperlakukan seperti itu. Sementara lelaki tua itu beranjak dari
tempatnya dengan tersenyum getir. Ia harap dapat menjadi seorang baru sekarang.
Seorang lelaki biasa.
***
Pagi itu, usai
mengangkat air di sungai, Anum dengan sepatu yang hanya sebelah, ikut berlari
bersama gerombolan anak-anak ke Lapangan Kupula. Nalsa bilang, disana Irzan dan
Azeer sedang bertarung sengit. Pantas saja heboh, seberani apa pula Irzan bisa
menantang Azeer yang kenakalannya sudah di maklumi seluruh masyarakat Desa Rumcay.
Ternyata
benar, disana ada Irzan dan Azeer yang saling melempar tinju, lantas bergelut
diatas pasir berdebu. Seperti ikan yang dilempar kedaratan, meronta-ronta dan
menerbangkan debu kesekitaran. Sengit. Anak-anak lain yang entah sejak kapan
melingkari mereka, hanya bisa bersorak-sorak. Bukan untuk mendukung siapa yang
menang, hanya saja agar tontonan menjadi lebih seru.
Anum yang paling
terakhir tiba. Perkara sepatu, menyulitkannya untuk menyusul anak-anak yang
lain. Hingga ketika ia tiba, Irzan telah terkapar di tengah lapangan. Tubuhnya
kini seperti bunglon, menyerupai warna pasir. Sedang Azeer merayakan
kemenangannya dengan menembak-nembakkan energi diksi ke udara, lantas berpendar
menciptakan pancuran warna warni. Gadis-gadis pun hanyut dengan pesona Azeer
mengunakan jurus diksi yang seharusnya tidak boleh di gunakan di depan umum. Bagi
Azeer, cukup dengan sedikit teknik diksi, siapapun bisa di hadapi, termasuk
hati wanita.
Anum ikut
membantu Irzan merapikan penampilannya yang kini begitu menyedihkan. Itu
salahnya sendiri, untuk apa menantang Azeer bertarung. Di khayalak umum pula. Itu
sama saja mengambil kotoran kerbau, lalu menempelkannya ke wajah.
“Seberapa bodoh
kau hingga berani melawan Azeer?” protes Kak Ansuh, kakak Irzan yang ikut membopongnya
yang tak sanggup berdiri.
“Dia terlalu
sombong Kak. Aku muak dengan kesombongannya. Baru bisa teknik diksi saja sudah
membuat kepalanya sebesar kubah istana!” jawab Irzan sambil sesekali meludah.
Sepertinya pasir juga ikut mengotori mulutnya.
“Maafkan aku
telat kemari zan. Aku tadi masih mengangkut air hingga tiba berita soal kau dan
Azeer yang tengah bertarung.” kata Anum dengan raut prihatin melihat kondisi
sahabatnya itu.
“Terus kalau
kau tiba lebih cepat, Lalu kau akan membantuku menghabisi si sombong itu? Lihat
dirimu kawan. Bisa apa kau? jangankan teknik bertarung, melihat bangau terbang
di sungai saja sudah membuatmu lari ke tempat bapakmu!” cetus Irzan.
Anum
tertunduk. Ia hanya bisa menelan ludah. Tidak ada yang salah dengan perkataan
sahabatnya itu. Dulu, sebelum Irzan ikut mendaftar di sekolah beladiri Eiff El
Phiach, mereka masih sama-sama bermain air di sungai. Sama-sama melempar batu, berlomba
siapa yang paling jauh lemparannya.
“Dasar bodoh!
Kau bilang Azeer sombong. Tapi kau juga tidak ada bedanya. Jangan kau bicara
seperti itu untuk Anum.” Kata kak Ansuh setelah menepuk kepala Irzan.
“Au! Sakit kak.
Janganlah kau pukul adikmu yang tampan ini. Walau aku tidak selihai Azeer
menggunakan Diksi, tapi aku masih populer di kalangan siswi di Eiff El Phiach.”
Kata irzan sambil mencoba membetulkan posisi rambutnya.
Kak Ansuh pun
kembali menepuk kepala Irzan. Kali ini lebih kuat. Irzan hanya bisa meringis
menahan sakit yang kini sudah terpusat di kepalanya. Sementara Anum yang
melihatnya hanya bisa tersenyum getir. Kata-kata Irzan masih menyesakkan
hatinya.
Bisa apa kau?
***
Genangan air
di timba yang di angkatnya tadi sesekali beriak. Anum yang duduk di hadapan
timba itu, sesekali mencelupkan jarinya kesana. Terlihat sepertinya ia
menikmatinya. Padahal jauh di dalam matanya, riak air itu terus membawanya tenggelam.
Seperti tenggelamnya batu yang ia lempar bersama Irzan ke tengah sungai.
“Wow! Aku lebih
jauh Anum!” Irzan bersorak. Batu yang ia lempar melambung jauh ke tengah
sungai.
“Kau tidak
akan bisa melewati rekor ku itu. Akulah Irzan sang pendekar batu!” kali ini
Irzan naik ke salah satu batu besar di pinggir sungai, lantas mengangkat
tangannya seperti bajak laut yang baru berhasil menemukan harta karun.
Anum hanya
tersenyum. Lengannya memang tak sebesar lengan Irzan. Sekuat apapun ia melempar
tetap tidak akan bisa melewati batu lemparan Irzan. Ia hanya mencoba melempar
dengan cara yang berbeda. Hingga kemudian batu yang ia lempar seperti lumba-lumba
yang melompat akrobatik. Satu,dua, tiga, empat, lima. Hingga akhirnya
benar-benar tenggelam.
“Hei bagaimana
kau lakukan itu?” Irzan takjub. Baru kali ini ia melihat batu melompat seperti
itu.
“Tidak tahu.
Aku hanya melemparnya saja. Ya hanya begini.” Anum kembali melemparnya.
Lagi-lagi batu itu melompat-lompat di atas genangan sungai.
Irzan ikut
mencoba melempar seperti Anum. Tapi batu yang ia lempar hanya sekali melompat
dan tidak muncul lagi kepermukaan. Ia tampak sedikit kesal setelah berkali-kali
mencoba. Nihil. Akhirnya Irzan pun kembali melempar batu sejauh-sejauhnya, dan naik
ke atas batu sambil menegakkan kembali bahunya. Harus tetap ia yang paling jauh
rekor lemparannya.
Byuur!!!
Timba yang di
hadapannya pecah. Lamunannya pun pecah. Mengingat betapa sombongnya Irzan hari
itu, membuat Anum memukul-mukul air di timba hingga pecah. Siapa bilang aku tidak bisa apa-apa!
***
“Selamat
datang anak-anak di sekolah Eiff El Phiach. Ini merupakan sekolah beladiri tertua
di negara kita. Kalian yang hadir disini nantinya akan mengikuti ujian masuk
dan akan dilatih menjadi pendekar terkuat di dunia!” seru seorang tua yang
tidak lain adalah Master Ybor. Ia adalah kepala sekolah Eiff El Phiach.
Semua mata
anak-anak berseri-seri. Tubuh mereka serasa tidak bisa diam untuk ingin segera
berlatih tarung. Melihat para pendekar di hadapan mereka, membuat mereka
benar-benar melotot gembira. Termasuk Irzan, sejak tadi pagi ia benar-benar
bersemangat. Mimpinya untuk menjadi pendekar terkuat di Eiff El Phiach harus
terkabul.
Jauh dari
keramaian anak-anak baru sekolah Eiff El Phiach, di pinggiran sungai, Anum
terduduk lesu. Menyesali keputusan ayah untuk tidak membiarkannya ikut sekolah
Eiff El Phiach. Untuk apa menjadi pendekar kalau hanya bisa mengusik
ketentraman? Mau makan apa dia nanti kalau menjadi pendekar? Bertarung tidak
bisa menghasilkan uang.
Sebuah batu
kerikil di hadapannya pun menjadi korban amarahnya. Ia raih batu itu dan
melemparkannya sejauh yang ia bisa ke tengah-tengah sungai.
Prak!
Sepertinya tulang
bahunya kini tidak beres. Ia terlalu kuat mengayunkan tangannya untuk melempar
batu, hingga kemudian ia mengeluh sakit dan terus memegang bahu kanannya. Ia semakin
marah. Ia tidak terima kalau yang dikatakan Irzan benar. Kalau ia memang tidak
bisa apa-apa. Ia akan buktikan kalau ia juga akan menjadi pendekar kuat.
Melebihi Irzan, ataupun Azeer sekalipun.
Di tengah-tengah
amarahnya, sebuah benda aneh diselimuti rumput basah terombang-ambing di
derasnya air sungai. Ketika kejengkelan Anum semakin menjadi, ia raih kembali
beberapa kerikil kecil dan melemparkannya kembali ke sungai. Beberapa kerikil
mendarat tepat mengenai benda aneh itu. Anum yang sambil memegang bahu
kanannya, tertegun dan mencoba melihat lebih dekat benda aneh itu.
Serasa
dikomando, benda itu malah terus mengalir ke daratan, mendekat ke arah Anum. Anum
yang mulai merinding takut ingin tahu, pelan-pelan merunduk dan mencoba meraih
benda itu. Ia tarik satu persatu rumput basah yang merekat di atasnya. Lengket.
Tiba-tiba salah satu rumput yang ia pegang bergerak dan menari-nari gila.
Huaa..!!
Anum menjerit.
Ia melepas rumput bergoyang itu yang tidak lain adalah ular air. Rasa geli pun
menjalar dari jari hingga ke seluruh tubuhnya. Seumur hidupnya baru kali itu ia
memegang seekor ular. Untung saja ia tidak digigit. Sementara ular itu, melata
kembali ke air.
Anum pun
mengalihkan pandangannya kembali ke benda yang di bungkus plastik hitam itu. Ia
angkat dan membawanya ke tempat yang lebih kering. Dengan gugup ia buka
bungkusan itu. Agak sulit. Dan akhirnya ia mencari sesuatu yang menurutnya
cukup tajam untuk merobek bungkusan itu.
Sedikit demi
sedikit bungkusan itu berhasil dibuka. Terlihat sebuah buku berwarna coklat
pudar disana. Dengan hati-hati, ia ambil buku itu. Karena terlalu penasaran, ia
pun membukanya.
Anum tampak
aneh melihat buku itu. Isinya tidak lain hanyalah kertas putih bersih tanpa
tulisan sedikitpun. Anehnya buku itu seperti sudah berumur. Tidak mungkin jika
tidak ada yang menulisnya. Apalagi buku itu ditemukan di sungai dengan
bungkusan rapi. Jelas ada sesuatu tentang buku itu yang ia tidak tahu.
“Anum!
Lekaslah pulang. Ayahmu sekarat. Ia di pukul kawanan Asasutup!” seru seseorang dari kejauhan.
Anum Tersentak. Ia melihat ke arah suara itu yang tidak lain adalah Insi, saudara perempuannya. Tanpa pikir panjang, ia pun bergegas pergi meninggalkan sungai menuju ke rumahnya. Sambil memeluk buku kosong itu, ia berlari dengan menahan air mata. Semoga ayahnya tidak begitu parah.
Anum Tersentak. Ia melihat ke arah suara itu yang tidak lain adalah Insi, saudara perempuannya. Tanpa pikir panjang, ia pun bergegas pergi meninggalkan sungai menuju ke rumahnya. Sambil memeluk buku kosong itu, ia berlari dengan menahan air mata. Semoga ayahnya tidak begitu parah.
jeh..
ReplyDeletetamat tu??
seakan tertinggal sepenggal sepi..
Itu bersambung bg.. haha :D
ReplyDeletenantikan edisi keduanya..
Insi... haha... :p
ReplyDeletehahaha :D
ReplyDeleteceritanya bersambung kak..
kalau bersambung, buatlah bersambung atau to be continue. atau apa gitu. suka kali buat orang penasaran :p
ReplyDeleteMakanya ikuti terus eliteword.blogspot.com #promosi
ReplyDeleteblognya bagus..lebih bagus dari blog ferhat, haha...semoga lolos ke jakarta, hidup KDI
ReplyDeletesirik tanda nggak mampu ali!!!
ReplyDelete