Jelajah Budaya Bersama FLP : Misteri Kandang Meuh
Setelah sebelumnya berjuang melawan terjangan hujan dan serangkaian masalah Pra Jelajah, kali ini aku akan menceritakan lanjutan pengalaman mengikuti Jelajah Budaya Bersama FLP minggu lalu (9 Juni 2013).
Kalau teman-teman FLP seperti
Bang Ferhat, Bang Doni, Bang Nazri, Bang Muarrif yang sudah menceritakan pengalaman mereka
mengikuti Jelajah Budaya Bersama FLP dengan keren di blog masing-masing,
rasa-rasanya enggak enak banget kalau ceritakan kisah yang sama. Toh, kami di
tempat yang sama, pergi sama-sama, juga dengan pemateri yang sama pula. Bisa
ditebak kalau tulisan ini juga pasti akan garing banget. Secara yang dibahas
itu-itu juga.
Well, setidaknya aku punya
pandangan lain selama acara minggu lalu dan melalui tulisan ini aku akan
mencoba menceritakannya. Supaya nyambung silahkan baca artikel sebelumnya di
Tragedi Pra Jelajah Budaya Bersama FLP.
Setelah berjuang dengan gigih
menerjang hujan, aku dan Bang Nazri pun tiba di Museum Aceh. Di sana udah
nangkring Bang Ferhat dan beberapa anggota FLP serta Peserta Jelajah Budaya. Bukannya
disambut dengan tarian ranup lampuan, kedatangan kami malah disambut dengan
pertanyaan bertubi-tubi.
“Darimana aja kalian?”
“Kok lama kali sampainya?”
“TOA mana?
“Yang lain mana?”
“Udah angkat jemuran?”
Dengan memasang tampang peluh, diiringi
raut wajah yang semrawut, akut dan menakutkan, kami mencoba menjelaskan
peristiwa yang baru saja kami alami demi meredakan gejolak jiwa mereka yang
sudah sangat bosan menunggu kami tiba. Kan kalau ikut acara jelajah budaya ini
tanpa kami ibarat sayur tanpa garam. Hambar gitu.
Cerita punya cerita ternyata
mereka nungguin Tour Guidenya yang belum nongol-nongol. Ah, aku terlalu pede
ketika mengira mereka menunggu kami. Cukup lama juga kami menunggu TG nya sejak
kami tiba. Sempatlah kami foto-foto bareng. Kami juga ada beli tiket masuk Rumoh
Aceh yang hanya Rp. 750. Begitu mau masuk, eh katanya TG nya udah mau sampai ke
Makam Sultan Iskandar Muda. Yaudah deh kami tunda dulu masuk ke Rumah Aceh.
Makam Sultan Iskandar Muda letaknya
di sebelah komplek Rumoh Aceh. Ada pagar disana yang menghubungkan kedua situs
sejarah ini. Tapi kami kurang beruntung. Pagarnya terkunci. Solusinya kami
harus memutar dan masuk dari gerbang Makam Sultan Iskandar Muda.
Hop!
Dengan gaya Jacky Chan aku pun
langsung melompati pagar itu dengan gampangnya. Aih, ternyata kemampuanku belum
hilang dalam hal panjat memanjat. Tindakan ku pun diikuti Bang Muarrif. Para
lelaki lainnya mulai goyah imannya melihat kami melompati pagar dengan mudah.
Lompat gak ya? Lompat gak ya?
Yang perempuan memilih memutar.
Dengan rok yang mereka pakai sangat tidak layak untuk ikut melompati pagar. Apa
daya mereka pun segera beralih haluan dan meninggalkan kami para pemuda keren di
depan pagar.
Mula-mula Bang Doni mulai mendaki
tiang semen di samping pagar dan mencoba melompat. Hop! Ia berhasil. Di susul
dengan Bang Fikri yang melompati pagar layaknya Naruto. Bang Ferhat agak
malu-malu melompat. Ia lebih memilih menaiki kakinya ke pagar dengan hati-hati,
lalu turun dengan hati-hati pula. Sedangkan Bang Nazri, sekejap mata ia sudah
melompat. Kecepatannya melompat membuatku galagapan mengira-ngira gaya apa yang
barusan ia pakai. Gaya katak kah? Gaya beruang kah?
TG yang diharapkan belum tiba
juga. Terpaksalah kami berkeliling sejenak untuk melihat suasana komplek makam
tanpa pemandu. Beberapa dari kami memilih untuk melihat sebuah papan informasi
sebelum melangkah jauh. Ada adegan unik yang tidak bisa aku ungkapkan di sini.
Silahkan Lihat foto di bawah ini untuk melihat apa yang terjadi.
Selang beberapa menit, akhirnya
TG yang dinanti telah tiba. Beliau bernama Laila Abdul Djalil. Setelah
pengenalan singkat yang difasilitasi oleh Bang Ferhat, kami segera dipandu
untuk melihat sekeliling. Pertama-tama dimulai dari makam Sultan Iskandar Muda.
Para peserta Jelajah Budaya meutuah banget dengerin Penjelasan Bu Laila. Cuma Bang Ferhat yang agak narsis dan Dara yang ngupil pake pulpen. |
Makamnya terletak istimewa dari
balik pagar sebuah bangunan yang tidak berdinding. Agak tinggi dibangun dari lantai.
Di dinding makam sendiri diukir beberapa kalimat dalam bahasa arab. Dan di
atasnya terdapat pula batu nisan dengan bentuk yang unik. Ibu laila bilang
zaman dulu itu dilapisi emas, perak bahkan lazuardi. Malahan dulu di komplek
ini bukan hanya makam Iskandar Muda saja, tapi beberapa makam yang lainnya
sehingga komplek itu juga disebut Kandang Meuh atau Kandang Emas.
Langsung saja pikiranku berkelebat.
Apa? Emas? Di sini? Bayanganku muncul seperti di film-film pencari harta karun.
Bisa saja emas itu masih ada di sini. Jika tidak sebesar batu nisan, yah
minimal sebesar biji semangka juga tak mengapa. Seandainya saja dapat maka akan
kubagi kepada pemuda-pemuda Aceh yang tak sanggup membayar mahar. Yohuhu.
Segera aku keluar dari kerumunan
teman-teman yang asyik mendengarkan penjelasan Bu Laila. Layaknya Sherlock
Holmes, aku mengamati arsitektur makam dengan seksama. Mungkin saja ada kode di
sana yang belum terpecahkan. Bisa jadi kunci menuju tempat penyimpanan harta
Iskandar Muda atau ada misteri lain yang belum terpecahkan.
“Hmm. Ini semakin rumit dan
menarik,” Gumamku sambil mulai menyedot Yakult yang baru aku keluarkan dari
tas.
Bang Doni dan Bang Nazri juga
keluar dari kerumunan, melihat mereka terlalu penat dengan sejarah yang ada
membuatku memberikan mereka Yakult juga. Semoga minuman berenergi itu bisa
meningkatkan gairah mereka lagi untuk mencintai budaya dan sejarah Aceh.
Pohon Tua tempat hantu-hantu nongkrong |
Di samping makam ada sebuah pohon
tua yang sudah bercabang banyak dan besar. Melihat itu imajinasiku langsung
memberontak. Seandainya saja dibangun rumah pohon disitu pasti akan sangat
keren. Tapi oh tidak! Aku baru ingat kalau kami sekarang berada di komplek
kuburan dan bisa jadi pohon itu tempat para penghuni alam gaib melakukan
refleksi kematian mereka. Bisa berupa pesta atau apapun itu. Atau bisa jadi
salah satu dari mereka telah membangun kedai kopi gaib di sana. Bisa kau
bayangkan mereka bercanda di kala malam tiba. Bergelayut di dahan-dahan tua dan
besar itu sambil tertawa-tawa. Atau mungkin jadi tempat mereka melakukan
diskusi publik dengan mengundang hantu yang sudah sukses didunia perfilman
Indonesia. Toh hantu Indonesia paling eksis bener kalo soal yang begituan.
Lanjut dari situ kami melihat
beberapa kuburan lainnya. Perkara hari itu entah kenapa aku sangat brutal dan
nakal, membuatku selalu keluar dari kerumunan pembahasan sejarah oleh Bu Laila.
Aku lebih memilih mengamati langsung. Dan taraaa! Ada yang aneh lagi. Ada beberapa
kuburan yang dinding makamnya terbelah! Bisa jadi itu bukti kalau mereka sering
keluar masuk kuburan untuk ngumpul di pohon besar tadi. Hayoo!
Sebenarnya banyak informasi yang
disampaikan oleh Bu Laila, Cuma semuanya telah diceritakan dengan lengkap oleh
Bang Ferhat, Bang Doni dan Bang Nazri. Jadilah aku tidak perlu lagi menjelaskan
detil situs budaya itu.
Setelah lama berkeliling di
Makam, kami pun kembali ke Museum Aceh. Seperti biasa sebelum pergi kami sempat
mengabadikannya melalui foto. Yah secara anak-anak FLP suka difoto itu udah jadi
rahasia umum. Jpret! Jpret!
Selesai dari Museum Aceh, Bu
Laila pun undur diri. Beliau ada agenda lain dan harus secepatnya pergi. Sebelum
itu dari FLP juga tidak lupa memberikan cinderamata sebagai apresiasi terhadap
peran Bu Laila yang sudah berbagi informasi hari itu.
Kak Husna memberikan cinderamata untuk Bu Laila |
Baiklah, aku kira hanya itu yang
terjadi di acara jelajah budaya. Sebenarnya yang buat seru itu bukan tempatnya,
tapi karena bareng teman-teman. Pastinya hari itu banyak hal seru yang kami
alami. Kalau tidak percaya silahkan lihat foto-foto di bawah ini. Yap sampai di
sini saja jelajah budaya bersama FLP. Sampai Jumpa!

Great post, brader!
ReplyDeleteChayooo.... chayooo :-)