Penggenggam Angin : Bagian Dua
Oleh : Aslan Saputra
Cerpen ini diikutsertakan pada kegiatan FLP #PenaKamiTidakPuasa
Sudah tiga bulan aku tinggal di
rumah Bibi Moma. Kami anak-anak yang tinggal bersamanya selalu mengganggap Bibi
Moma adalah malaikat cantik. Ia selalu menyediakan segalanya untuk kami. Makan,
tempat tidur, selimut tebal, hingga pakaian. Aku tidak tahu kenapa ia bisa
sebaik itu. Yang jelas, aku sudah menyayanginya sejak pertama kali hadir di
rumah ini, rumah anak-anak kesepian.
Aku, Ali dan Eki merupakan salah
satu dari beberapa anak lainnya yang tinggal di rumah Bibi Moma. Ketika aku
tiba di rumah ini, Eki sudah ada terlebih dahulu. Sedangkan Ali, ia muncul
setelah dua bulan aku berada di sana. Aku masih ingat ketika Ali menangis
mengejar-ngejar ayahnya yang meninggalkannya di depan pintu rumah Bibi Moma. Saat
itu aku tidak tahu apa arti semua itu, sampai ketika aku telah berteman dengan
Ali.
Aku sendiri juga memiliki nasib
yang tidak jauh beda dengan Ali. Tiga bulan lalu, aku ingat masih terbaring
lemah di rumah Paman Sam. Badanku panas, menandingi panas tungku perapian. Di setiap
malamnya aku selalu bermimpi di kepung kawanan beruang hitam, dengan mata
beringas dan cakar yang besar. Aku hanya bisa terus berlari untuk bersembunyi.
Malam itu, malam terakhir kali
aku melihat Paman Sam. Setelah ia membalutku dengan beberapa kain perca yang
disisipi beberapa ampas kayu, ia menggendongku dan menembus hujan salju yang
dinginnya hingga menusuk tulang. Antara setengah sadar, aku merasa badanku
berguncang setiap Paman Sam melangkah. Hanya deru nafasnya yang terdengar
berat. Aku yang tidak bisa bergerak, hanya pasrah.
Tiba-tiba langkah Paman Sam
terhenti. Sejenak kemudian aku sadar kalau telah diturunkan dari punggungnya. Mataku
agak sulit ku buka, hanya saja aku sempat melihat sesosok pria yang kukenal adalah
Paman Sam, dan seorang pria lainnya yang menggunakan jas kutub tebal dengan
sepatu boot berwarna hitam tengah berbincang. Aku diletakkan di tanah dengan
tetap berbungkus kain tebal.
Aku sempat melihat Paman Sam
berteriak-teriak sambil mengarahkan telunjuknya kearahku. Sepertinya mereka
terlibat percakapan rumit. Apakah ia marah pada pria itu? Siapa juga dia? Aku
tidak punya cukup kekuatan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
itu.
Ada satu hal yang sampai sekarang
masih aku bingungkan. Yaitu ketika Paman Sam menerima beberapa lembar uang dari
pria itu. Kemudian mata Paman Sam melirik kearahku. Baru kali itu aku melihat
ada air mata yang turun dari kedua mata Paman Sam. Lantas ia mengusapnya dan
pergi berlalu. Kini hanya tinggal aku dan pria itu. Aku tetap tidak bisa
berkata apa-apa, hanya menatap langkah kaki Paman Sam yang lama lama hilang
ditutupi kabut malam.
Tepat ketika bayangnya
benar-benar tidak terlihat lagi, sekelilingku pun menjadi gelap. Setelah itu
aku tidak ingat lagi apa yang terjadi. Begitu sadar, aku telah terbaring di
sebuah ruangan yang kini aku baru tahu itu adalah ruang kesehatan yang ada di
rumah Bibi Moma ini. Itulah pertama kali aku melihat Bibi Moma menaruh kain
hangat di dahiku, mengambilnya dan mencelupkannya pada sebuah bejana air.
Memeras airnya, baru kemudian menaruhnya kembali di dahiku.
Sampai saat ini, aku tidak tahu
lagi kabar dari Paman Sam. Ketika aku menanyakannya pada Bibi Moma, ia hanya
menggeleng. Katanya yang mengantarku ke rumah Bibi Moma bukanlah pria yang aku
gambarkan seperti Paman Sam. Jelas berbeda. Adalah seorang pria dengan jaket
kutub tebal dan bersepatu boot hitam yang mengantarku ke rumah ini. Persis
seperti pria yang Paman Sam temui sebelum aku kehilangannya.
Awalnya aku merasa asing tinggal
di rumah ini. Jelas berbeda dengan rumah yang biasa aku dan Paman Sam tempati. Rumah
ini lebih luas, bertingkat dengan banyak kamar-kamar yang fungsinya
berbeda-beda. Aku kira ini adalah istana. Sebab kami benar-benar merasa luas di
dalamnya. Tidak seperti rumah Paman Sam yang kadang-kadang kita harus
menundukkan kepala bila berjalan di salah satu sudut rumah.
Ekilah yang pertama kali
mengajakku untuk bermain di rumah ini. Bola matanya yang berbinar setiap
memanggil namaku membuat ku tidak takut lagi. Jadilah kami bermain apapun. Hingga
ketika aku telah didaftarkan pada sekolah negeri di kota, aku juga berangkat
bersamanya dari rumah. Pun pulang juga seperti itu. Eki mengingatkanku pada
Paman Sam. Sesosok pria yang selalu melindungiku.
"Ferhat!! Hari ini kita kemana?" Begitulah teriakan Eki setiap membangunkanku dari tidur.
"Ferhat!! Hari ini kita kemana?" Begitulah teriakan Eki setiap membangunkanku dari tidur.
Bersambung
cheer
ReplyDelete