Header Ads

Penggenggam Angin : Bagian Empat

Oleh : Aslan Saputra




Teman Tertawa

Ali dari tadi sesekali menggoyangkan bahuku. Dia terus menggigit jari, dan kedua kakinya bergerak seperti hendak memainkan irama tertentu.

“Ferhat, benarkah Eki akan baik-baik saja?”

“Tentu saja Ali. Tenanglah,” Aku memegang salah satu lututnya agar tidak bergetar lagi. Tapi kini malah tanganku yang ikut bergetar.

“Bagaimana jika Bibi Moma bertanya? Apa yang harus kita jawab? Tas kita juga masih tertinggal di sekolah,” Ali menunggu jawabanku dengan tatapan tajam. Seolah jawaban yang akan aku berikan adalah nafas terakhirnya.

“Aku juga tidak tahu,” kini giliran kakiku yang bergetar. Bagaimana jika Bibi Moma tahu kami bolos sekolah.

Tiba-tiba Bibi Moma keluar dari kamar bersama dokter yang tadi diteleponnya. Mereka terus bercakap panjang hingga ke ruang tamu dan berakhir di pintu rumah. Aku dan Ali berebut ke kamar untuk melihat kondisi Eky. Begitu sampai depan pintu kamar, aku lebih dulu memegang gagang pintu, tapi kemudian,

 “Minggir Ferhat!” Ali menggeser kepalaku dan merebut memegangnya.

Aku tidak mau kalah. Segera aku tarik bajunya dan aku geser bahuku ke depan kepalanya, “Tidak! Aku duluan!”

Ali bersikeras. Sekuat tenaga ia merapatkan tubuhnya di gagang pintu. Dan akhirnya kami seperti dua ekor kecoa yang berebut masuk ke dalam celah pintu.

Tidak lama Bibi Moma kembali. Lantas menjewer kedua telinga kami. Menyakitkan lahir batin.

"Awwwww!!!"

“Sedang apa kalian?”

“Ah, tidak ada apa-apa Bibi,” Ali mundur sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku pun mundur sambil tersenyum kecut.

Dan kami pun masuk ke dalam kamar. Eki masih terbaring di sana. Wajahnya pucat. Ada seutas tali di lengannya dan terhubung ke sebuah botol plastik yang disangkutkan di sebuah tiang besi. Terlihat air mengalir di dalamnya.

“Bagaimana dengan Eki, Bibi?” tanyaku sambil mendekat ke tempat tidur.

“Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan,” Jawab Bibi Moma, “Tapi dari mana kalian? Kenapa tidak bawa saja Eki ke Klinik sekolah?”

Aku dan Ali saling melirik. Mata kami bertarung, saling menolak untuk menjawab pertanyaan Bibi Moma.

“A-aku panik Bibi, makanya aku langsung membawanya ke rumah,” Sorotan mata Ali terlalu kuat, Aku terpaksa menjawab seadanya.

“Ya sudah. Tak apa. Yang penting kini Eki baik-baik saja. Kalian tetap di sini, Bibi mau memasak makan siang untuk kalian,” Bibi Moma beranjak pergi keluar kamar.

Aku dan Ali menghela nafas lega, lantas menatap Eki yang masih terbaring tidak sadarkan diri.

“Maafkan aku, Eki,” Ali mendekat, lalu memegang jemari Eki.

 “Ini bukan salahmu, Ali. Tidak apa-apa,” Melihat Ali aku menjadi tidak tega, lantas aku pun memegang pundaknya.

Tiba-tiba mata Eki sedikit terbuka, lalu bibirnya mulai tersenyum. Tampaklah kedua mata binarnya. Walau tidak terang, tapi melihatnya aku sedikit lega.

“Eki! Kau sudah sadar?”

“Ferhat, Ali..” Eki mulai bicara, walau terlihat agak sulit baginya.

“Eki, ini berapa?” Ali mengangkat kedua jarinya dengan lugu.

“Sepuluh,” Jawab Eki sambil tersenyum.

“Hei, kau sudah sadar kan? Jawabanmu salah!” Ali mengangkat lagi empat jemarinya, “Kalau ini berapa?”
“Lima belas,” Kini Eki tertawa. Dan akupun tersenyum.

Siang itu kami terus tertawa-tawa. Ali memang pintar membuat Eki tertawa, walau juga sering membuatnya menangis. Melihat mereka, aku merasa bahwa merekalah rumah angin yang sebenarnya. Membuatku tentram, dan nyaman.

Tiba-tiba suara Bibi Moma menggelegar dari luar sana, “Ferhat! Ali! Tas sekolah kalian di mana?”

Seketika kami terdiam, lalu menelan ludah.

Bersambung

Tulisan ini diikutsertakan pada lomba blog FLP #PenaKamiTidakPuasa

No comments:

Tinggalkan Pesanmu Di Sini ^^

Powered by Blogger.