Penggenggam Angin : Bagian Enam
Oleh : Aslan Saputra
Wanita yang disebut Ibu
Aku sudah sekuat tenaga berlari. Pokoknya
kali ini harus aku yang mengalahkan Ali. Masa dia yang selalu menang lomba
lari.
“Hahaha.. tetap aku yang duluan
Ferhat!” Ali semakin jauh dari posisiku saat ini. Memang kakinya benar-benar
panjang seperti galah.
Sekilas aku melirik ke belakang.
Eki tampak agak kelelahan. Tapi langkahnya masih tetap stabil. Setiap lomba
lari, selalu Eki yang paling akhir. Maklum, dia seorang gadis.
Lama-lama aku berpikir, sayang
juga kalau Eki tidak pernah menang lomba lari. Akhirnya dengan sengaja aku
memperlambat lariku, berpura-pura kelelahan.
“Hei, kau kenapa?” Eki tiba-tiba
memperlambat langkahnya ketika sampai ditempatku berlari.
“Sudah, kau duluan saja,” Aku
memegang pinggang, seperti orang yang keberatan perut, dan nafas yang sengaja
aku buat tidak teratur.
“Tidak apa-apa Ferhat, aku akan
mengawasimu. Kita jalan pelan-pelan saja,” Eki pun menyuruhku berhenti.
Ya ampun. Kenapa jadi begini? Padahal
aku hanya pura-pura agar dia mendahuluiku. Ini kesalahpahaman yang absurd. Jadilah
kami berjalan hingga ke rumah.
Tampak di teras rumah, Ali duduk.
Sepertinya ia menunggu kami dari tadi.
“Ada apa Ali?” Tanyaku.
“Eki, ada yang mencarimu. Mereka
dan Bibi Moma sudah menunggumu di dalam,” Jawab Ali dengan nada lemah. Tapi sepertinya
bukan karena kelelahan. Pasti ada sesuatu yang terjadi.
“Siapa?” Eki bingung. Aku pun
bingung.
“Tidak tahu. Kau masuk saja
terus. Ferhat, ayo ikut denganku,” belum aku menyetujui, Ali sudah menarik
tanganku dan meninggalkan Eki sendiri di depan pintu. Sungguh aku seperti orang
bodoh saat itu.
Ali mengajakku ke samping rumah,
tepatnya di depan sebuah jendela yang terhubung dengan ruang tamu. Di antara
bunga-bunga akasia, kami bersembunyi dan mencari tahu apa yang terjadi di dalam
sana.
Tampak Bibi Moma tengah duduk
bersama seorang wanita yang sedikit lebih muda darinya, dan seorang pria dengan
jas hitam dan kumis tebal dibawah hidung besarnya. Seketika muncul Eki. Wanita
itu berdiri dan langsung memeluk Eki. Berkali-kali ia usap kepala Eki, dan membolak-balikkan
Eki kedepan dan kebelakang, seperti memastikan kalau tidak terjadi apa-apa
dengan Eki. Kemudian ia memeluknya lagi, dan menangis.
“Kau tahu dia siapa?” tiba-tiba
Ali memecah tontonan haru itu.
“Siapa?”
“Dia Ibu Eki,”
“Benarkah?”
Ali mengangguk. Tapi cara Ali
menyampaikannya kepadaku, tidak ada nada gembira sedikitpun. Seharusnya ia
gembira, karena Eki kini telah memiliki ibu kembali.
“Hei! Kau kenapa? Bukankah seharusnya
kau senang Ibu Eki telah kembali?” aku mengguncang tubuh Ali.
“Iya aku senang. Tapi kau juga
harus tahu. Itu artinya Eki akan meninggalkan rumah ini. Dan akan meninggalkan
kita,” sorotan mata Ali penuh makna. Memecah kegembiraanku tentang kembalinya
ibu Eki.
Ali bangkit dari tempatnya, dan
pergi. Begitu pula aku. Tontonan itu kini tidak bermakna lagi. Ali pergi entah
kemana. Aku hanya berjalan gontai menuju kamar, memasang tatapan kosong. Entah kenapa
aku merasa akan hampa. Atau mungkin telah hampa. Begitu tiba di kamar, aku
segera merebahkan diri ke kasur. Pikiranku berputar-putar dan akhirnya
kesadaranku lenyap.
***
“Ferhat! Ferhat! Bangun nak!”
Bibi Moma mengguncang-guncang
tubuhku dengan kuat. Tidak biasanya membangunkanku dengan cara seperti ini. Padahal
tadi aku sedang memakan eskrim raksasa bersama Eki dan Ali. Sial.
“Hmm.. ada apa Bibi? Ini sudah
pagi?” mataku terasa membesar sebelah. Sulit dibuka.
“Ini masih sore Ferhat. Ayo lekas
ganti baju. Cari Eki!” Lagi-lagi Bibi Moma menguncang tubuhku. Kali ini lebih
kuat.
“Hah? Ada apa dengan Eki?” Aku
tersontak kaget.
“Dia dari tadi menghilang. Bibi
sudah mencarinya di seluruh rumah, tapi tidak ketemu. Tolong kau cari dia. Ibu
dan ayahnya sudah menunggunya dari tadi,”
Apa? Eki hilang? Jika di rumah
tidak ada, pasti sekarang dia ada di…
“Baiklah Bibi Moma, aku akan
mencarinya.”[]
Tulisan ini diikutsertakan pada lomba blog #PenaKamiTidakPuasa
Eki minggatkah? :D
ReplyDeletepenasaran