Penggenggam Angin : Bagian Lima
Setoples Impian
Aku rasa aku mulai gila. Pikiranku
tidak stabil, tulisanku tidak berkembang. Ah, kenapa bisa begini?
Semenjak Eki sembuh dari sakitnya
kemarin, aku jadi merasa aneh sendiri. Sekarang aku sudah seperti dokter
pribadi Eki. Buku catatanku kini seluruhnya tertulis tentang Eki. Mulai dari
caranya tertawa, mengedipkan mata, rambutnya yang diterbangkan angin, sampai
mengejar kucing tetangga. Semuanya aku tulis. Aku tidak tahu kenapa, yang jelas
tulisan itu mengalir begitu saja.
Dan yang lebih parahnya, semakin
lama mata Eki semakin berbinar. Sehingga membuatku malah tidak sanggup untuk
melihatnya. Matanya seperti kelereng yang baru dicelupkan ke air. Bening dan
menentramkan. Eki pun juga tambah aneh. Dia sering tersenyum kepadaku tanpa
sebab. Sampai-sampai aku berpikir kalau ada kotoran burung di kepalaku, atau
mungkin nasi yang menempel di pipiku.
Eki selalu saja memintaku untuk
menunjukkan buku catatanku kepadanya. Tentu saja tidak bisa! Apalagi setelah
buku itu penuh tentang dirinya. Aku tidak ingin Eki membacanya. Tidak pula Ali.
Buku itu sangat-sangat harus kujaga. Jika saja ada yang membacanya, aku pasti
akan sangat memalukan.
Tanpa terasa, persahabatan kami
terus berlanjut hingga tamat dari sekolah dasar. Kami lulus dengan nilai yang
lumayan baik. Ekilah yang paling tinggi nilainya. Sementara aku dan Ali hanya
beda satu atau dua angka. Kadang aku yang lebih tinggi, kadang pula Ali.
Kami masih saja bermain bersama
seperti dulu. Saling kejar mengejar, menangkap capung dan yang terpenting
bermain di rumah angin. Aku menyadari kini rumah angin tampak semakin sempit. Atau
bisa jadi karena tubuh kami yang kini bertambah besar. Ali yang paling tampak
perubahannya. Tubuhnya kini hampir setinggi Bibi Moma. Suaranya juga sudah berubah.
Dan kau tahu? Eki juga mulai berubah. Makin lama dia makin… cantik.
***
Lagi-lagi aku tertidur di rumah
angin. Angin benar-benar menjamuku dengan baik sebagai sahabatnya. Disini,
ditempatku berbaring, segala kepenatan dunia untuk sementara hilang. Angin
menghiburku, Angin menjadi sahabat terbaikku. Tentunya setelah Ali dan Eki.
Aku tersadar karena ada sesuatu
yang terus mengganggu hidungku. Jadinya aku ingin bersin, tapi tidak jadi. Ingin
bersin lagi, eh tidak jadi lagi. Malahan makin lama hidungku semakin gatal. Dan,
Hatching!
“Hahaha…” Eki tertawa lebar di
sampingku.
“Hei, apa yang kau lakukan
disini? Mengganggu tidurku saja,” Aku protes. Ternyata Eki yang menjahili
hidungku dengan rumput.
“Hmm.. aku disini? Untuk apa ya? Ah
aku tidak tahu,” jawab Eki sambil tersenyum-senyum.
Apa-apaan sih Eki? Lagi-lagi
tersenyum tanpa sebab. Pasti ia tertawa karena wajahku berantakan. Memang tadi
aku sempat bermimpi menunggangi seekor naga dan berkeliling desa. Mungkin berdampak
ke dunia nyata.
“Ferhat?” tiba-tiba raut wajah
Eki menjadi serius.
“Hmm.. ada apa?”
“Apa hal yang paling kau inginkan?”
“Hmm? Kenapa kau tanyakan itu?”
“Sudah, jawab saja!” Eki menimpuk
kepalaku dengan buku catatanku.
“Aduh! Iya-iya ibu monster!”
segera aku perbaiki posisiku, lalu mengambil kembali buku catatanku dari
tangannya.
“Aku ingin… menjadi Penunggang
Naga!”
“Hei, aku serius!” Lagi-lagi Eki
memukulku.
“Iya-iya…Baiklah. Pertama-tama,
aku ingin sekali berjumpa dengan Paman Sam. Aku merindukannya. Dan yang
terpenting, aku ingin sekali menjadi seorang penulis. Jika nanti aku telah
terkenal, aku ingin kedua orang tuaku menemukanku. Aku ingin sekali melihat
orang tuaku seperti apa,”
“Wah penulis ya! Keren Ferhat!” Sial,
lagi-lagi Eki tersenyum. Aku jadi aneh lagi.
“Kalau kau ingin bagaimana? Apa
yang paling kau inginkan Eki?”
“Entahlah. Aku tidak tahu.”
“Kenapa tidak tahu? Tadi kau
duluan yang bertanya. Seharusnya kau juga sudah memikirkan jawabannya,”
“Bisa berikan aku secarik kertas?”
Eki merebut buku catatanku.
“Hei, kembalikan! Biar Aku saja
yang merobek kertasnya,” Aku mengambil kembali buku itu. Jangan sampai Eki
membuka buku itu.
Eki lalu merobek kertas itu menjadi
dua bagian, menyerahkan sebagiannya kepadaku dan bagian yang lainnya ia gunakan
untuk menulis sesuatu.
“Tulis impianmu di kertas itu!”
“Impian? Untuk apa?” Aku bingung.
“Kau tulis saja!”
Akupun juga mulai menulis. Tentang
segala keinginanku. Berjumpa kembali dengan Paman Sam, bertemu dengan kedua
orang tuaku, dan menjadi seorang penulis terkenal. Tanpa kusadari, aku
benar-benar hanyut dengan tulisanku sendiri.
“Ferhat, Sudah? Lipat kertasmu
dan masukkan disini.” Perintah Eki sambil mengeluarkan sebuah toples kecil dari
tasnya.
Aku hanya mengikutinya saja. Lalu
Eki menyuruhku menggali sebuah lubang di dalam rumah angin. Ia menaruh toples
itu di dalamnya dan menyuruhku menimbunnya kembali.
“Kelak, jika kita telah dewasa
dan kembali lagi kemari, Kita bisa lihat apakah mimpi kita sekarang telah
terwujud atau tidak nantinya.” Sorotan mata Eki benar-benar menyakinkan dan
sejenak kemudian ia tersenyum kembali.
“Memangnya apa yang kau tulis
tadi?”
“Rahasia!” Eki bangkit dari
duduknya dan keluar dari rumah angin. Segera ia berlari dan kembali berteriak, “Ferhat!
Ayo lomba siapa lebih dulu sampai di rumah! Taruhannya roti selai!”
“Hei tunggu Aku!”[]
Tulisan ini diikutsertakan pada
lomba blog FLP #PenaKamiTidakPuasa
Bagus tulisannya, Aslan..
ReplyDeleteBahasanya mengalir lancar :)
Hehehe.. terima kasih kak :)
Deletebagus tulisannya, judulnya pun mengugah untuk di baca
ReplyDeleteblognya kakak follow ya
ReplyDeleteWah, terima kasih kak :)
DeleteBlog kakak juga sudah saya follback :)