Header Ads

Penggenggam Angin : Bagian Tiga


Oleh : Aslan Saputra



Rahasia Kecil

Sungguh, aku keluar sekolah bukan hanya untuk pergi dari penatnya pelajaran. Aku hanya mengikuti kemana angin pergi. Walaupun ujung-ujungnya Ali dan Eki juga ikut-ikutan. Tapi bagaimanapun, ketika berbaring di rumah angin, menurutku itulah yang namanya belajar. Bercanda dengan angin, berbisik pada daun-daun yang berguguran hingga menari di bawah terik matahari.

Aku kira hanya aku yang mengerti itu semua. Sebab ketika aku menceritakannya kepada Ali dan Eki, mereka hanya meledekku. Bagi mereka bolos jam pelajaran hanya untuk bermain. Sedang aku, terus menarik garis tinta di lembaran-lembaran buku tulis yang diberikan Bibi Moma. Aku menulis semua yang aku lihat, semua yang aku rasa. Tapi satu tujuan utamaku, aku ingin menemukan siapa aku yang sebenarnya.

Selama tinggal di rumah Bibi Moma, aku baru mengerti kehidupan itu seperti apa. Bahwa hidup itu bukan hanya tentang aku dan Paman Sam. Ada juga seorang pria yang aku sebut ayah, seperti yang diteriakkan Ali di setiap mimpi malamnya. Dan juga seorang wanita mirip Bibi Moma yang bisa aku sebut ibu. Ibu seperti sebuah kata yang tersemat di benda-benda kesayangan Eki. Boneka beruang, catatan kecil dan sepasang kaus kaki merah jambu.

Aku tidak mengerti kenapa aku bisa sangat merindukan Paman Sam. Mungkin karena dialah yang selalu bersamaku sejak kecil. Memilin-milin beras merah agar aku bisa melumatnya dengan mudah. Menemaniku bermain bola karet di halaman rumah ketika Paman Sam selesai dari gudang kayunya.

Paman Sam adalah seorang pengukir kayu. Jika kau sempat melihat rumah yang dulu aku tempati bersama Paman Sam, pasti kau akan percaya kalau Paman Sam adalah seorang pengukir kayu yang sangat berbakat. Mulai dari dinding luar rumah hingga ke dalamnya, semua penuh ukiran eropa kuno dengan motif bunga aster mekar. Makanya aku sangat senang tinggal di sana. Apalagi angin selalu masuk dari celah-celah kayu yang sengaja dibuat Paman Sam.

“Ferhat, kamu mau ukiran apa lagi?”

“Aku ingin ukiran seekor kuda poni, Paman,”

“Kuda? Kenapa Kuda?”

“Biar aku bisa menaikinya. Kan tidak mungkin aku terus-terusan naik di punggung Paman,”

Paman Sam Tertawa.

Melihat Paman Sam waktu itu bagiku sangatlah istimewa. Sebab kerut-kerut di wajahnya melebur dengan raut muka gembira. Badannya yang seperti seekor beruang kutub, dengan lengan yang besar yang biasa ia gunakan untuk mengangkat kayu-kayu besar, membuat orang yang melihatnya pasti mengira kalau ia orang yang jahat. Tapi buktinya, aku hanya melihat senyumnya, setiap saat.

“Ferhat, kau sedang apa?” Tiba-tiba Eki membuyarkan lamunanku tentang Paman Sam.

“Eh, Aku sedang menulis, Eki,” jawabku seadanya.

“Menulis apa? Boleh aku lihat?” Eki beringsut mendekat. Aroma bedak bayi dari tubuhnya menyegat hidungku.

“Tidak boleh!” Segera aku menyembunyikan catatan kecil yang kupakai untuk menulis.

“Kenapa tidak boleh?”

“Ya tidak boleh!”

“Kamu pelit Ferhat!”

“Biarin.”

Aku menyimpan buku itu di saku kecil celanaku. Tidak ada seseorang pun yang boleh tahu apa yang aku tulis. Tidak juga oleh Eki. Tidak pula oleh Ali.

Eki kini cemberut seperti labu kerut. Ia merasa dikhianati. Segera ia bangkit dan keluar dari rumah angin.

Tiba-tiba dari arah barat sebuah bola karet menghantam kepalanya. Benar-benar membuat kepalanya berguncang hebat. Ia sempoyongan, dan kepalanya terjun hingga mendarat ke tanah. Eki terkapar.

“Eki!!” Aku berteriak. Spontan aku langsung mendekatinya dan melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan Ali juga mendekat ke arah Eki.

Mata Eki terpejam. Ia tidak sadarkan diri. Aku panik. Ali yang baru saja tiba lebih panik. Ia sangat merasa bersalah karena telah menendang bola karet hingga mengenai kepala Eki.

“Bagaimana ini?” tanya Ali dengan raut wajah ketakutan. Tangannya dari tadi tidak diam. Terus saja bergetar.

“Ayo kita bawa ke rumah Bibi Moma. Biar aku yang menggendongnya,” segera aku mengambil langkah cepat, “Ali, letakkan Eki diatas punggungku!”

Siang itu kami bergegas kembali ke rumah Bibi Moma. Dengan tas kami yang masih di sekolah. Aku tidak tahu harus berkata apa jika nanti Bibi Moma bertanya.

Bersambung

Tulisan ini diikutsertakan pada lomba blog FLP #PenaKamiTidakPuas

4 comments:

  1. Replies
    1. Namanya juga strategi menang bang. wkwkwkw :>)

      Delete
  2. Namanya juga calon novel ferhat.
    Ini kayaknya bakal sampe 20 kali sambung menyambung
    abis tu aslan bisa kirim ke penerbit terus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin sampai jilid lima udah selesai kak. Hehe :-s

      Delete

Tinggalkan Pesanmu Di Sini ^^

Powered by Blogger.