Penggenggam Angin : Bagian tujuh
Oleh : Aslan Saputra
Arti Pertemanan
Kenapa Eki pergi? Bukankah
seharusnya ia senang karena ibunya telah kembali?
Bermacam-macam pikiran terus
bergelut di kepalaku. Langkahku semakin kupercepat menuju tempat di mana Eki
berada. Jika ada masalah apapun, aku, Ali dan Eki pasti akan pergi ke Rumah Angin.
Tempat di mana kami melepas kepenatan dunia.
Dan ketika pikiranku semakin
rumit, akupun tiba di Rumah Angin.
“Ferhat!” Eki menyambutku. Disana
juga ada Ali.
“Ali? Kau disini juga?” Aku
mencoba masuk ke dalam rumah angin dengan sedikit menunduk. Rumah angin kini
benar-benar penuh dengan kami bertiga.
“Seharusnya aku yang bertanya,
kenapa kau lama sekali datang kemari?” Ali menjawab dengan ketus.
“Aku senang kau kemari, Ferhat!” Senyum
Eki.
“Kenapa kalian ada disini? Bibi
Moma menyuruhku mencarimu, Eki. Kedua orang tuamu telah menunggumu di rumah,”
“Dia bukan ayahku,” Eki
menundukkan wajahnya.
“Hah? Jadi? Wanita itu?” Aku
terperanjat.
“Wanita itu memang ibuku. Tapi
lelaki itu bukan ayahku. Dia lelaki lain yang menikah dengan ibuku,”
“Maafkan aku Eki, aku baru
mengetahuinya,”
“Tidak apa-apa Ferhat,” Eki hanya
tersenyum getir.
“Jadi sekarang bagaimana? Mereka
sudah menunggu kita dirumah,”
“Kau masih juga tidak mengerti,
Ferhat?” Ali angkat suara.
“Tapi kan mereka orang tua Eki,”
“Aku mengerti Ferhat. Sebentar
lagi aku juga akan pulang kok. Aku di sini hanya ingin mengunjungi Rumah Angin
untuk yang terakhir kalinya. Dan berjumpa dengan kalian untuk yang terakhir
kalinya pula,” Bibir Eki bergetar. Seakan-akan ia menahan sesuatu.
“Tapi kau kan masih bisa
mengunjungi kami di sini. Dan jika kau tidak bisa, maka kami yang akan
mengunjungimu nanti. Memangnya kalian akan tinggal di mana nanti?”
“Mereka akan pergi ke Jerman,
bodoh!” Bentak Ali.
Apa? Jerman? Dari peta saja itu sudah
sangat jauh dari tempat kami tinggal. Aku terdiam.
“Sudahlah Ali. Aku pasti akan
mengunjungi kalian nanti. Ah, aku pasti akan merindukan kalian,” Eki kembali
tersenyum. Namun kedua matanya mulai berembun. Perlahan membasahi pipi bulatnya.
“Ah, kenapa jadi cengeng begini
sih, Haha” Ali bangkit. Wajahnya ia palingkan membelakangi kami. Ia juga mulai menangis
sesenggukan.
Entah bagaimana mataku pun mulai
perih. Dadaku sesak. Suasana di Rumah Angin tiba-tiba menjadi haru seperti ini.
Kami tidak banyak bicara apa-apa. Hanya menangis, dan menangis.
“Aku berjanji akan kembali lagi,”
Eki mencoba meredakan tangisnya.
Sungguh, baru kali itu aku
melihat Eki menangis dengan hebat. Ingin rasanya aku menghapus air matanya.
Tapi tidak bisa sekarang. Air mataku lebih berantakan.
“Aku juga akan kembali kesini
nanti. Lihatlah! Ketika nanti aku berhasil menjadi pemilik pabrik kayu, aku
juga akan kembali kesini,” Ali menghapus ingus yang meleleh dari hidungnya.
Kami pun kembali ke rumah. Tidak lama
Ibu Eki pamit dan memeluk Bibi Moma dengan erat. Mereka berdua menangis di
dalam pelukan. Mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan sebagai bentuk terima
kasih karena telah merawat Eki hingga sebesar ini. Sementara Eki juga
berpamitan dengan kami semua, anak-anak yang tinggal di rumah Bibi Moma.
Tiba giliran Ali, ia pun memeluk
Eki dengan erat, seperti tidak ingin dilepaskan.
“Hei, aku tidak bisa bernafas,
Ali,” Eki mencoba melepaskan diri.
“Aku pasti akan sangat
merindukanmu, Eki,” Ali pun melepas pelukannya. Lalu mereka berdua tersenyum.
Giliranku berpamitan dengan Eki
semakin dekat. Sebenarnya aku juga ingin memeluk Eki. Namun aku tidak berani.
Ah tapi kalau bukan sekarang, aku tidak bisa menjamin akan bisa memeluknya lagi
di kemudian hari. Tapi aku malu. Ah, dia
semakin mendekat. Bagaimana ini? bagaimana?
“Ferhat, Aku pergi ya,” Eki
tersenyum. Bola matanya berbinar. Wajahnya terang. Sangat terang.
Aku hanya mengangguk. Tidak memeluknya,
tidak pula menyalaminya. Ia pun hanya membalas dengan anggukan pula.
Mereka berjalan pelan menuju
mobil. Eki sesekali melihat kebelakang, melihat kami. Bahkan hingga mobil telah
berjalan, ia masih saja melongok dari jendela. Tiba-tiba ia menangis dan
melambaikan tangannya.
“Sampai jumpa teman-teman!”
Anak-anak yang lainnya juga ikut
menangis sambil melambaikan tangan. Hanya aku yang mematung. Tangan kiriku yang
memegang buku catatan terus bergetar. Sebenarnya tadi aku ingin menunjukkannya
kepada Eki. Tapi aku tidak sanggup. Dadaku terasa aneh. Seperti ada sesuatu
yang copot di dalam sana. Ditarik secara paksa, dan menghilang dari tubuhku
selama-lamanya. Aku hampa. []
Tulisan ini diikutsertakan pada #PenaKamiSudahLebaran
uoopsss.... 3 smart versi 3 idiot hahah
ReplyDeletehaha.. ini beda tina [-(
Deletebaru baca langsung kebagian tujuh,, mungkin harus baca dari bagian yang pertama..
ReplyDeleteiya.. bagusnya baca dari pertama :)
Deleteterima kasih sudah berkunjung (c)
Keren, Bang. (h)
ReplyDeleteTerima kasih Ai :)
DeleteLihat judulnya jadi ingat, "Lelaki Penggenggam Hujan"
ReplyDeleteOh, tapi ceritanya beda kak...
Delete