Suatu Saat Tentang Ayah
Oleh : Aslan Saputra
Jika
diberikan kesempatan untuk memberikan satu kata saja untuk bisa menggambarkan
tentang Ayah, kata apa yang akan kau berikan?
***
Ini cerita
beberapa minggu yang lalu. Di sabtu malam, tiba-tiba Ayah mengetuk pintu
kamarku, dan berkata,” Put, Besok ada kemana? Bisa bantu Ayah?”
Aku
terdiam dan sempat berpikir dalam beberapa detik. Setiap minggu memang jadwal
yang kusediakan untuk berkumpul di Rumah Cahaya bersama teman-teman FLP. Di sana
kami selalu berbagi semangat menulis dan saling memperbaiki tulisan. Dan ketika Ayah memintaku di jadwal minggu itu, sepertinya aku tidak boleh menolaknya.
“Gak
ada kemana-mana yah, bantu apa?”
“Perbaiki
atap rumah sebelah, bisa kan?”
“Boleh
Yah, siap!”
Segera
ku banting stir rencanaku, membatalkan segala janji dan mempersiapkan segalanya
untuk besok pagi.
***
Ini memang
akhir bulan. Bagi seorang pensiunan kantoran seperti Ayah, berdiam diri di
rumah ketika akhir bulan sangat membosankan. Selain indeks keuangan menurun, juga
untuk mempertahankan kestabilan kondisi perut, maka pilihan untuk mencari
tambahan penghasilan sangat diperlukan. Dan pilihan itupun jatuh pada sebuah rumah
yang atapnya sudah tiada. Hanya tinggal rangka kuda-kuda, dan dinding rumah
yang semakin keropos.
Kami
sekarang tinggal di daerah pesisir, tempat di mana pernah menjadi saksi bisu
terjangan tsunami beberapa tahun yang lalu. Dan di sini, rumah-rumah bantuan
dari negara lain berderet-deret memenuhi lahan yang telah ditimbun beberapa lapis
menutupi bekas puing tsunami. Harap kau maklum dengan kondisi setiap rumah
bantuan yang dibangun melalui proyek tender. Tentu saja kondisinya tidak semua
layak dikatakan sebagai ‘rumah’.
Nah,
di minggu pagi itu, matahari bersinar cerah. Aku dan Ayahku, dengan bermodalkan
vespa, akhirnya tiba di TKP. Begitu turun dan memarkirkan vespa, kamipun
menatap rumah tanpa atap yang berdiri kokoh di hadapan kami.
“Itu
dia misi kita, Putra!” seru Ayahku sambil meregangkan kedua bahunya dan
mengamati setiap inci rumah itu dengan tatapan Tom Cruise pada film Mission
Impossible.
“Ayo
kita selesaikan Yah!” balasku sambil melipat lengan baju dan membetulkan posisi
topi.
Kami
pun masuk mendapati keadaan rumah yang sungguh sangat super hancur berantakan. Dan
parahnya, kami tidak membawa peralatan layaknya tukang pada umumnya. Hanya bermodalkan
palu, paku, dan tang. Tidak ada tangga untuk bisa naik ke atap. Eh, ini beneran
mau perbaiki atap atau enggak sih?
Dan dengan
bismillah, Ayah mulai menunjukkan keuletan masa mudanya. Kami mencari sebuah
balok besar, lalu menyandarkannya ke dinding dan Ayah pun mulai merangkak
seperti spiderman ke atas kuda-kuda. Aku hanya bisa memegang kayu, dan
melihatnya saja.
Aku dari
bawah hanya mengoper besi-besi dan baut atap yang memang sudah disediakan oleh
pemilik rumah. Yang paling sulit adalah menaikkan atap yang lebarnya sekitar dua
meter dan terbuat dari bahan seperti asbes. Cukup berat untuk menaikkan benda
yang lebih berat dari tubuh kita lho! Lututku saja bergetar ketika
mengangkatnya dan yahku dengan sulit menyambutnya dari atas. Dan itu baru
satu, delapan lembar atap lagi yang harus kami naikkan. Wouwo!!
Hari
mulai siang dan baru dua atap yang kami naikkan dan itu pun dengan susah payah.
Aku meminta untuk naik juga keatas namun Ayahku menolaknya. Ia bilang aku tidak
perlu naik keatas dan cukup menunggu di bawah. Lalu tiba-tiba karena sedikit
kesulitan, akhirnya Ayahku pun memintaku untuk naik.
“Bisa
naik kan? Kalau susah enggak usah aja,” kata Ayah sambil duduk di antara rangka
kuda-kuda. Langit yang panas membuat keringat banyak bercucuran dari kulitnya.
“Bisa!
Ayah aja bisa, kenapa putra gak bisa?” segera aku memanjat jendela dan meraih
balok di atas kepala, layaknya ninja yang sedang menyelundup. Hop!
Begitu
aku berdiri di atas kuda-kuda, segera lututku mulai bergetar. Melihat lantai
dari ketinggian lima meter sungguh sangat tidak menyenangkan. Jantungku langsung
tidak stabil dan tubuhku mulai kehilangan keseimbangan. Namun setelah beberapa
menit melakukan adaptasi, akhirnya aku mulai terbiasa, walaupun masih takut-takut
juga.
Beginikah
susahnya? Ayah dari tadi bertarung dengan ketinggian seperti ini. Bagaimana
kalau jatuh? Apakah duluan kepala atau bokong yang mendarat? Apakah kepala akan
pecah dan mengeluarkan isi-isinya? Ataukah ada beberapa tulang dan rangka tubuh
yang akan patah? Atau jangan-jangan langsung mati? Bagaimana kalau Ayahku yang
jatuh? Bagaimana kalau aku? Bagaimana kalau?
“Ayah,
sudahlah kita turun saja. cukup segini yang bisa kita kerjakan. Lebih baik kita
cari pekerjaan lain. Tidak apa-apa kalaupun tidak dibayar,” aku mencoba
menyakinkan Ayah.
“Ah,
udah tanggung ini. sedikit lagi juga akan selesai, Put,” jawab Ayah sambil
terus memutar baut atap.
Aku hanya
diam. Terus berpikir. Mengetahui berapa bayaran yang akan kami terima nantinya
dan membandingkan dengan pekerjaan yang harus kami hadapi, rasanya tidak
sesuai. Aku yang pernah mendapatkan uang dengan jumlah yang lebih banyak dari
ini, dengan hanya bermodalkan kreatifitas juga pasti berpikiran seperti itu.
Hingga akhirnya aku mengambil kesimpulan, hidup ini sungguh berat ternyata.
Banyak
diluar sana, orang-orang yang berprofesi sebagai buruh pabrik, pekerja bangunan
yang mempertaruhkan hidupnya demi bayaran yang menurutku sangat tidak sesuai. Tapi
apa mau dikata, itu mereka lakukan demi keperluan perut penghuni rumah. Mau bekerja
yang lebih layak? Ijazah mereka tidak akan sama diperlakukan layaknya para
pemilik title berharga tinggi. Akhirnya ya begitu, pasrah dengan realita yang
ada.
“Sudahlah
pak, kita pulang saja. Ini terlalu sulit. Kita cari pekerjaan lain saja, yang
lebih murah.”
“Baiklah
kita pulang, tapi tunggu sampai dua lembar atap kita pasang lagi ya,” Ayah
mencoba berdiri, namun nahas kakinya memijak kayu yang keropos dan grubak!! Tubuh
besar itu jatuh dan mendarat di puing-puing kayu dengan paku-paku yang menancap
ke atas. Darah muncrat kemana-mana. Aku menjerit sejadi-jadinya.
“Ayaaaaaaaahhhhh!”
“Ada
apa? Kok berteriak put?” Ayah yang masih duduk di antara balok besar merasa
heran.
Eh,
apa-apaan ini? ternyata semua tadi hanya khayalanku saja. Astaga! Imajinasi yang
mengerikan!
“Baiklah,
kita selesaikan satu ini lagi, lalu kemudian kita istirahat dan shalat,” Ayah
mulai bangkit dan memperbaiki segala yang ada.
Akupun
segera mempercepat segala yang bisa aku lakukan. Tiba-tiba entah tenaga dari
mana, aku semakin sanggup menaikkan selembar atap sendiri ke atas, dan kemudian
di sambut oleh Ayahku. Dalam pikiranku hanya satu. Selesaikan ini secepatnya
dan pulang!
***
Setelah
empat atap berhasil kami naikkan dengan susah payah, akhirnya kami pun turun. Aku
yang pertama kali turun, hanya tinggal berpegangan pada celah-celah jendela
dan akhirnya langsung melompat. Ayahku yang berat badannya dua kali dari berat
badanku, mulai ragu untuk turun seperti caraku, setidaknya itu yang aku tangkap
dari wajahnya.
“Ayah
bisa turun? Atau tunggu sebentar biar Putra cari kayu yang lain buat turun,”
“Kamu
tadi turun dari mana Put?”
“Dari
sini!” Aku menunjuk kearah jendela yang aku gunakan tadi.
“Yaudah.
Kamu aja bisa kenapa ayah gak bisa?”
Segera
dengan hati-hati ia turun dengan cara yang sama sepertiku. Berpegangan pada
celah-celah jendela, sedikit bergelantungan dan dengan pelan turun sambil
berpegangan pada dinding yang licin. Dan akhirnya ia juga berhasil turun.
Ada
satu hal yang aku pelajari hari ini, bagaimanapun ayah, sulitnya ia bekerja,
dan bagaimanapun ia melakukan segala hal di depan anaknya, ia tidak akan pernah
mau menunjukkan kelemahannya, walaupun sebenarnya ia memang tidak mampu. Ia
akan selalu harus tampil terbaik di hadapan anaknya.
Tapi begitulah, kelak jika aku menjadi seorang Ayah, aku pasti akan merasakan hal yang serupa. Bagaimana ketika anak kita yang
dulu masih kecil berada di pangkuan kita, kini telah menjadi seorang pria
yang mungkin saja tubuhnya lebih tinggi dan lebih bisa dalam segala hal. Siapkah
dengan kondisi seperti itu?
Hari
ini pula, aku menyadari satu hal lainnya. Mulai hari ini, giliranku untuk bisa
membahagiakannya, dan memastikannya untuk tidak lagi berbuat hal yang berbahaya
seperti ini lagi.
Terima
kasih, Ayah.
lhoh.. ayah aslan di banda ya?
ReplyDeleteohh putra panggilan aslan.. *baru tau
hehehe iya kak husna :)
DeleteAyah yang hebat plus anak yang berbakti. ngeri baca pas adegan ayahnya aslan jatuh dan tertusuk paku. gak kebayang jika benaran.;(
ReplyDeleteHehehe... itu namanya membuat ketegangan dalam cerita hehehe...
DeleteAslaaan! hard worker. Good job! Terima kasih ya, harusnya tulisan instruktur kelasnya yang kayak gini
ReplyDeleteya ampun.. kami belum ada buku kak hehe :>)
Deletejadi belum bisa jadi instruktur..
wow!!
ReplyDeleteini seru....
kenapa nggak ajak aku??