Sweet Bread
Sudah
kepalang tanggung. Sesuai perhitungannya, Mak memang pergi ke rumah Bu Fatimah.
Pun dompet Mak memang ada di dalam lemari, di bawah tumpukan baju. Pelan-pelan
ia buka dompet itu. Jantungnya hampir copot. Ia lihat ada lembaran-lembaran
berwarna di sana. Ia teliti satu-satu. Nah, ada yang berwarna hijau. Ia kira
itu cukup. Dengan gemetaran, ia tarik lembar hijau yang kusut itu, menutup
kembali kancing dompet dan menaruhnya seperti sedia kala. Rapi.
***
Lagi-lagi
ia menelan ludah. Entah sudah berapa liter ludah yang ia telan untuk membunuh rasa
inginnya. Harapan untuk juga bisa melumat nikmatnya roti yang dimakan anak-anak
yang keluar dari toko itu. Kenapa tidak
beli saja sendiri? Jangankan membeli, terkadang membayangkannya saja hanya
bisa melumat jari.
Matanya
warna-warni melihat roti-roti yang berjejer disana. Ia terpesona melihat
butiran-butiran coklat di atas roti yang melebihi besarnya tahi lalat Bu
Fatimah, tetangga sebelah rumah. Belum lagi selai srikaya yang meleleh di
pinggiran roti, cukup memeloroti liurnya. Uap-uap yang menempel di dinding
etalase pun membuat pikiran Rahmat terbang. Terbang sampai menubruk awan, dan
menjatuhkan roti hangat ke tangan kecilnya. Nyam-nyam. Pasti lezat jika
disantap.
“Mat,
sedang apa kamu disitu? Lekas kemari bantu Mak angkat belanjaan” sahut mak dari
ujung jalan.
Panggilan
mak membuatnya siuman dari khayalan. Untung liurnya tidak ikutan menetes.
Bisa-bisa mak tahu kalau ia ingin sekali mencicipi roti itu.
Setiap
mak mengajaknya belanja ke Pasar, Rahmat selalu singgah di depan Sweet Bread, toko roti yang baru dibuka
seminggu yang lalu. Sambil menunggu mak selesai bertarung harga dengan penjual
sayur segar, lima meter dari pintu toko, ia cuma bisa berjongkok menopang
tubuhnya yang tidak seberapa. Sambil sesekali berdiri untuk memastikan roti itu
masih ada di etalase toko atau tidak.
Sebenarnya
bisa saja ia minta beberapa lembar uang untuk menebus roti itu. Tapi ia sadar
diri. Harga roti saja sebanding dengan makan siang mereka. Jika saja mak tahu
berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk sebongkah roti itu, tentu saja mak
akan marah. Mana bisa perut damai dengan roti yang sebesar buah mangga itu.
Mahal pula.
Sejak ayah pergi meninggalkan Rahmat dan mak menuju
Rumah Tuhan, mak terpaksa mencukupi kehidupan mereka dengan bekerja mencuci
tumpukan pakaian kotor dirumah Bu Fatimah. Mak juga disuruh memasak disana.
Makanya setiap mak belanja ke pasar, Rahmat diajak untuk membantu membawa
belanjaan. Dengan gaji yang tidak seberapa itulah, mak membeli beras dan
membayar segala kebutuhan sekolah Rahmat.
“Mak, Kak Sari dan Kak Maimunah kenapa tidak pernah pulang
ke rumah lagi Mak?” Terlihat Rahmat agak tidak seimbang membawa belanjaan mak
yang lumayan berat.
“Kakak-kakak kamu kan sudah di pinang orang. Mereka
harus ikut kemana suami mereka pergi. Kelak kalau kamu sudah besar dan meminang
anak gadis orang, barulah kamu bawa pulang kerumah kita juga” jawab mak sambil
sesekali menoleh ke penjual sayur yang sedang obral harga.
“Ah, gak mau aku Mak. Aku mau tinggal sama Mak saja.
Untuk apa harus bawa anak gadis ke rumah kita. Mereka kan bawel Mak kayak Fitri
anak buk Fatimah” Kata Rahmat sambil mengernyitkan keningnya, lantas
mengeleng-gelengkan kepala karena terusik bayangan tentang kebawelan Fitri.
Mak tertawa. Lantas merangkul leher Rahmat. Mencium
kepala Rahmat hingga tampak begitu sayangnya mak terhadap Rahmat. Rahmat pun
menarik kepalanya cepat-cepat. Ia malu di lihat orang di jalan. Ia kan sudah
besar. Mana pantas lagi di cium Mak. Di depan umum pula. Wajah Rahmat pun
memerah.
***
Kali ini ia sendirian pergi ke pasar. Karena sesekali
di bawa mak melewati jalan-jalan pintas, tidak sulit baginya untuk bisa sampai
ke pasar lebih cepat. Biasanya mak mengajaknya melewati jalan pintas kalau mak
buru-buru pulang. Terkadang bergelut harga dengan pedagang sayur bisa lupa
waktu. Melewati kedai buah Pak Sulaiman, belok ke arah toko becah belah, masuk gang
kecil hingga sampai tepat di depan Sweat
Bread.
Jantungnya mulai berdetak tidak teratur. Padahal ia
tidak berlari tadi, tapi mungkin karena terlalu gugup berada di depan toko yang
selama ini ia takjubkan. Seandainya saja bisa masuk, seandainya saja bisa
membeli, seandainya saja bisa memakan roti-roti itu. Ah, benar-benar membuatnya
gila. Roti-roti itu terlalu nakal menggugah selera Rahmat.
Ia periksa kantong celananya. Ia dapati uang dua
puluh ribu yang agak lusuh. Ia pikir itu akan cukup untuk bisa membeli dua atau
tiga roti yang ada disana. Dengan mantap ia melangkahkan kaki menuju pintu toko
itu. Belum sempat menyentuh gagang pintu toko, seseorang memanggilnya,
“Hei Rahmat! Sedang apa kamu di situ? Kemana Mak mu?
Kenapa tidak bersama Mak mu hari ini?” tanya pedagang ayam potong yang sering
di kunjungi mak.
Rahmat tersentak. Entah kenapa begitu mendengar nama
mak disebut, ia gemetaran. Perasaan bersalah seketika menjalar di seluruh
tubuhnya. Bagaimana jika mak tahu kalau ia mencuri uang mak? Ia mulai
ragu-ragu.
Sekian detik kemudian, dalam lamunannya yang
bergelut panjang. Iya atau tidak. Lanjut atau mundur. Tapi bagaimana dengan mak?
Ah, lebih baik ia pulang saja. Mengembalikan uang ke tempat semula dan
berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ya, seperti itu saja. itu lebih baik.
Tiba-tiba rombongan anak-anak menerobos masuk ke
dalam Sweet Bread. Dan tentu saja, di
pintu yang sama, karena tidak sempat menyingkir, Rahmat juga hanyut dalam terobosan
anak-anak itu hingga kini ia sudah ada di dalam toko. Toko roti yang selama ini
mengusik benaknya.
Tanpa di komando, anak-anak itu langsung
berpencar memilih roti mana yang akan
mereka beli. Disana terpajang roti-roti beraneka warna, rasa dan gaya.
Benar-benar menggugah selera. Melihat
itu semua, Rahmat kembali lupa dengan mak. Seperti kerbau yang dicocok
hidungnya, mengikuti kemana aroma roti yang paling enak. Kalau bisa malah semua
ingin di belinya.
***
“Mak, kenapa Mak harus mencuci pakaian Bu Fatimah?
Kenapa pula harus Mak yang masak di sana? Emang Bu Fatimah tidak bisa mencuci
dan memasak?” Rahmat sejak dari tadi terus-terusan bertanya pada mak yang
tengah membilas pakaian Bu Fatimah.
“Kita kan tidak punya uang nak. Makanya kita
membantu Bu Fatimah mencuci dan memasak agar di beri uang. Kalau Mak tidak
mencuci dan memasak di sini, lha terus kita makan apa nanti?” kata Mak sambil
sesekali menyeka keringat yang bercampur detergen di wajahnya.
“Kalau begitu kenapa kita tidak mencuci baju Kak
Sari dan Kak Maimunah saja? rumah Kak Sari dan Kak Maimunah kan sama besarnya
dengan rumah Bu Fatimah. Disana juga tidak ada Fitri yang banyak omong”
“Hus! Jangan ngomong begitu Mat. Kalau Bu Fatimah
dengar, bisa-bisa kita tidak di izinkan mencuci dan memasak lagi disini!” bentak
mak sambil menciprat air ke arah Rahmat.
Rahmat tersentak kaget, lalu membersihkan wajahnya
yang sedikit kena air yang mak cipratkan tadi. Tanpa bicara, Rahmat
meninggalkan mak yang masih sibuk dengan cuciannya. Ia pergi ke ruang tamu,
dari jauh melihat Fitri yang sedang menikmati roti bersama Bu Fatimah. Sambil
mengernyitkan keningnya, mengingat ketika Fitri membentaknya karena ikut
menonton Fitri bermain Playstation beberapa hari lalu.
“Jangan dekat-dekat anak pembantu! Sana lihat Mak mu
mencuci saja!” kata-kata Fitri itu masih membekas di ingatannya. Memicu
amarahnya.
“Rahmat,
ngapain kamu disitu? Kamu mau roti? Ini ambil satu” Suara Bu Fatimah mengagetkan
Rahmat.
Rahmat melihat kotak roti itu. Sweet Bread terpampang di atas kotak berwarna coklat jingga itu. Itu
pasti roti dari toko yang selalu ia lewati setiap ikut mak berbelanja. Karena
terlalu penasaran, ia pun mendekat ke tempat Bu Fatimah memanggilnya.
“Eh, itu punya Fitri bunda. Fitri kan udah bilang
tadi kalau punya Fitri yang ini, ini, ini” sela Fitri sambil menunjuk-nunjuk
roti yang ia maksud.
Langkah Rahmat terhenti. Melihat roti yang ada
sepertinya tidak cukup untuknya, Rahmat sadar diri.
“Tidak apa-apa Bu, saya tidak suka roti”
“Yaiya lah tidak suka. Ini kan makanan orang kaya.
Pembantu mana pernah makan yang kayak gini. Kalau mau pun ya beli sana! Bisanya
cuma minta aja.” Cetus Fitri.
“Eh, tidak boleh kamu ngomong begitu!” tegur Bu Fatimah
tanpa sedikit pun memukul Fitri. Beda dengan mak yang selalu mencubit Rahmat
kalau ia melakukan kesalahan.
Tanpa banyak bicara, rahmat pun berlalu meninggalkan
ibu dan anak itu bercengkrama. Ia sesak. Ia benci disebut pembantu. Matanya
semakin merah. Ia berlari ke tempat Mak yang kini sedang menjemur pakaian di
halaman rumah Bu Fatimah.
“Mak! Ayo kita pulang! Rahmat benci disini. Rahmat
benci rumah ini! untuk apa kita menjadi pembantu di rumah ini! kita pulang saja
Mak!” Emosi Rahmat meledak, seiring meledak pula tangisannya.
Mak kaget. Baru kali ini rahmat sedemikian marahnya.
Biasanya mak mencubitnya karena terlalu besar menyebut-nyebut kenakalan Fitri, tapi
kali ini mak malah memeluk Rahmat. Mak paham perasaan Rahmat.
“Nak, dengarkan Mak. Walaupun kita di panggil
pembantu, tapi kita tetap mulia nak. Kita tetap hamba Allah yang taat. Kita
shalat, kita tidak pernah berbohong, tidak menipu, tidak mencuri. Makin sabar
kita menghadapi cobaan, makin mulia kita di sisi Allah. Tak ingin Rahmat muliakan
Bapak di surga nanti?” jawab Mak sambil menyeka air mata Rahmat yang sudah
membanjiri wajahnya.
Rahmat sesenggukan. Kata-kata mak berhasil
membuatnya sedikit tenang. Untuk muliakan bapak di surga nanti, ia mesti sabar.
***
Roti-roti yang mereka pilih mulai di bungkus. Wanita
yang berdiri di kasir dengan telaten menghitung total yang harus di bayar
tiap-tiap anak itu. Rahmat yang ikut mengantri, kembali meraba isi kantong
celananya. Melihat selembar uang hijau itu, jantungnya kembali berdetak
kencang. Ia teringat wajah mak.
Ia linglung. Ia tidak mau menggunakan uang mak tanpa
izin. Tapi roti yang sudah ia pilih kini sudah terlanjur berkotak. Tinggal
menebusnya dengan rupiah, maka akan langsung berpindah tangan. Sampai ketika
gilirannya, wanita kasir itu memberikan kotak berwarna coklat jingga itu.
“Semuanya lima belas ribu dik” kata wanita itu
sambil tersenyum.
Rahmat gemetaran memegang kotak roti itu. Entah apa
yang ia pikirkan, tiba tiba ia berlari sambil membawa kotak itu keluar toko.
Anak-anak yang berdiri dibelakangnya terdiam, sementara wanita kasir itu
berteriak, “Pencuri! Pencuri!”
Rahmat kalut. Ia berlari sekuat tenaga, tapi baru beberapa
meter menjauh dari Sweet Bread,
bajunya di tarik lelaki penjual ayam potong.
“Hei, mau kemana kamu? Beraninya mencuri! Apa tak
malu kamu sama mak mu?!” bentak lelaki tua itu. Lantas kemudian memukul
punggungnya.
Suasana ramai. Orang-orang yang berada dipasar itu
mengerumuni Rahmat dan lelaki tua itu. Sementara wanita kasir tadi, langsung
menampar wajah Rahmat dan mengambil kotak berwarna coklat jingga itu.
“Dasar Pencuri! Kalau tidak ada uang jangan beli!”
Rahmat menunduk. Matanya berair, tubuhnya gemetaran.
Benar-benar ketakutan.
***
Mak sedari tadi mencari-cari Rahmat di rumah, tapi
tidak ada. Karena berfikir mungkin Rahmat sedang bermain sama anak-anak yang
lain, mak pun menaruh sekotak bertuliskan sweet
bread di meja makan.
“Pasti Rahmat senang melihat ini”[]
Wah..... kok ada nama R sih di sini.... menyedihkan lagi., hehehe :-)
ReplyDeleteini R, bro. anak GIB :-)
omen ngeri kali namanya sekarang bang.... Dustin bukan lagi R :v
DeleteSedih.. Di ujungnya
ReplyDelete