Header Ads

Kreatiflah dalam Move On!

Sejak saat itu, aku selalu lebih berani untuk melakukan apapun dengan cara yang berbeda. Tidak takut dengan aturan yang dibakukan dengan kebakuan yang terlalu baku. Istilahnya think outside the box! Jangan takut maju dengan gaya sendiri dan berusahalah untuk kreatif dalam memecahkan masalah.

DULU aku paling sering menjumpai ayah tiap malam untuk diajari pelajaran matematika. Ayahku seorang insinyur dari Fakultas Teknik Unsyiah. Makanya, untuk sekedar pelajaran matematika SD pasti bisa dikerjakan dalam hitungan menit, oh tidak, pasti detik. Dan yang terpenting, aku sangat terbantu akan hal itu.

Hingga suatu malam, aku menodong Ayahku dengan tumpukan buku matematika yang sejujurnya telah kuselipi beberapa buku komik biar terasa berat dan wow! Dengan sedikit mengesot, dan memasang tampang paling memilukan seumur hidupku, aku pun merayu Ayah untuk mengerjakan soal matematikaku. Catat! Bukan mengajari, tapi dikerjakan langsung.

Karena ayah tidak tahan melihat wajah dan kondisiku yang bikin mual, ayah segera merampas buku yang ada ditanganku. Tiba-tiba,

“Eh, apa ini! Kok komik?”

“Eh, bukan itu yah. Tapi yang ini,” Aku segera menukarnya dengan buku yang benar.

Secepat kilat ayah menyambar, coret sana coret sini, akhirnya dua puluh soal berhasil diselesaikan oleh Ayah. Aku menganga, bukan karena takjum akan kecepatan itu, tapi karena lagi-lagi aku salah memberi buku. Itu buku temanku yang aku pinjam untuk melihat soal. Kebetulan tadi di sekolah aku terlalu sibuk mengupil hingga kelewatan mencatat soal di papan tulis.

“Ayaaaah...!”

“Ada apa lagiiii!”

“Itu buku yang salah. Ini bukuku,” aku mengiba, berusaha meminta ayah agar mengisi jawaban dibukuku juga.

Ketika masih percaya dengan buku pelajaran SD

“Ah, lihat aja buku ini. Ayah capek,” Ayah menutup buku, dan meraih selembar koran yang sudah ia baca sekitar sepuluh kali mungkin.

Yaah...! perjuanganku berakhir seperti ini?

Aku menghela nafas. Percuma minta banyak. Segera aku melihat buku temanku itu, mencoba mengerti hasil jawaban yang Ayah tulis.

Eh, kok beda ya? Aku sedikit bingung dengan jawaban yang Ayah tulis. Di buku panduan, untuk menjawab soal itu butuh sekitar empat sampai lima baris. Lha tapi kok ini hanya dua baris? Banyak coret-coretnya juga. Ibu guru tidak mengajari yang seperti ini tadi pagi.

“Ayah, ini caranya salah!”

“Mana yang salah?”

“Yang ini, eh tidak! semua kayaknya salah,” Aku membalikkan beberapa halaman selanjutnya. Benar! Ini semua beda!

“Mana ada. Itu benar semua. Itu pakai cara pintas,” Ayah melanjutkan membaca koran.

“Gak bisa yah. Ibu guru suruh pakai cara yang ini,” aku membuka buku panduan, tepat di halaman contoh soal, menunjuknya dengan menggebu-gebu seperti tersangka korupsi yang mencoba membela diri.

“Cara itu salah, panjang bener. Pakai cara ayah saja. Lebih ringkas dan tepat,”

“Tetap gak bisa yah! Kami disuruh pakai cara yang ini,”

“Tapi hasilnya kan sama,”

“”Iya, tapi tetap gak bisa. Harus pakai yang seperti buku panduan,”

“Ah gak mau lagi Ayah. Buat aja sendiri kalau gitu,”

“Yaudah deh. Aku buat sendiri aja!” aku melakukan aksi protes, mengambil semua buku dan beranjak pergi dari situ.

“Hei Putra!” Ayah memanggil.

“Apa Ayah?” jawabku dengan pasang tampang kesal.

“Ayah pinjam komiknya ya,”

Jegerrr! Kipas angin di langit-langit seperti jatuh ke atas kepalaku. Segera aku pergi tanpa mengiyakan. Ah, semoga ayah mengerti kondisiku setelah membaca komik doraemon itu.

...

Akhirnya aku berhasil mengerjakan soal itu semua sendiri sebagai bentuk protesku dengan ketidakmauan ayah. Walaupun ujung-ujungnya aku merasa puas juga karena telah berhasil mengerjakannya sediri.

Setiba di sekolah, aku segera mengumpulkan prku itu, berikut dengan buku pr temanku yang ketika telah aku kumpul, aku baru ingat kalau hasil jawaban ayah belum aku hapus. Astaga! Bagaimana ini?

Singkat cerita, Ibu guru segera menjelaskan hasil pr kami dan memberikan penghargaan kepada temanku yang aku pinjam bukunya tadi malam. Sebut saja namanya Joko.

“Di antara semua hasil jawaban kalian, ada satu yang paling bagus dan benar. Beri tepuk tangan untuk Joko!” seru ibu guru diikuti tepuk tangan teman-teman lainnya.

Eh, kok bisa? Bukannya jawaban ayah beda dengan di buku panduan?

“Jawaban Joko ini lebih ringkas dan mudah dimengerti,” jelas ibu guru.

...

Sejak saat itu, aku selalu lebih berani untuk melakukan apapun dengan cara yang berbeda. Tidak takut dengan aturan yang dibakukan dengan kebakuan yang terlalu baku. Istilahnya think outside the box! Jangan takut maju dengan gaya sendiri dan berusahalah untuk kreatif dalam memecahkan masalah.

Well, kini bagaimanapun masalah yang saya hadapi, saya selalu melangkah maju tanpa takut gagal. Selalu yakin bahwa kerja kreatif akan selalu berdampak baik, setidaknya tanpa banyak mengurangi nilai-nilai dasar.

Bukti lainnya, hingga detik ini saya menulis ini, saya selalu move on meninggalkan beragam masalah yang rumit. Karena betapapun usaha kita mencerna segalanya, kalau belum bertindak dan mulai melangkah kedepan, kita tidak akan pernah berubah. Yakinlah, Allah punya jalan kreatif tentang hidup kita. Tidak percaya? Silakan coba!

Tulisan ini diikutsertakan pada kegiatan #PenaKamiMoveOn

5 comments:

  1. (h) keren.. ini betolan keren...

    Kalau tau gitu, dulu aku udah nyontek sama si joko..

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkwkwk.. kenapa bg? pernah punya pengalaman gini juga? :D

      Delete
    2. aku sering peranin tokoh si joko di sma..
      semua buku orang aku tulis nama aku..
      :d
      Kalau SD emang nangis aku gak mau sekolah kalo belum dibuatin pr sama bapak aku..
      hahaha

      Delete
  2. Hahaha adk kk jg suka brantem krn hrus slesaikan soal kudu sm dg d buku. Hahha

    Bedewe, kudu berani lah ya. Semangaatttt! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya kak hehe... itu permasalahan klasik dari zaman dulu =p~

      Delete

Tinggalkan Pesanmu Di Sini ^^

Powered by Blogger.