Header Ads

DEAH RAYA: Pinggiran Kota Banda Aceh yang Terlupakan

Namaku Aslan Saputra. Dan aku tinggal di Deah Raya.

HARI ini aku pulang ke rumah dengan sedikit kesal. Banyak orang yang bertanya alamat rumahku, tapi tetap tidak paham walaupun telah aku jelaskan berkali-kali. Bahkan, ada yang belum pernah mendengar tempat ini sebelumnya. Padahal daerah tempat tinggalku adalah salah satu dari sekian banyak kawasan wisata yang ada di Banda Aceh. Mengapa??

Maka dari itu, dengan sedikit emosi segera aku mengemas barang, memenuhi ransel dengan botol minuman, Alquran, bekal, dan beberapa biskuit. Setelah selesai, segera aku berikan kepada adikku yang hendak pergi mengaji.

Nama tempat tinggalku ini adalah Deah Raya. Namun banyak yang sering menyebut dengan Syiah Kuala, karena di sini terdapat makam Syeikh Abdurrauf Bin Ali Al Fansuri. Kawasan ini dulu sempat di terjang tsunami sehingga sebagian tanahnya kini menjadi laut. Maka jangan heran kalau pantainya masih dangkal walau sudah berenang sedikit jauh dari bibir pantai.

Daerah ini dulunya lebih lebar dan luas, namun sebagiannya hilang diterpa tsunami. Banyak masyarakat sini bukanlah penduduk asli, termasuk aku. Sebab penduduk aslinya sudah banyak yang terkena tsunami. Walaupun begitu, masyarakat tetap menjunjung tinggi nilai kearifan lokal daerah ini.

Lalu, apa cuma itu yang ada di sini? Nah, untuk itulah aku sudah bersiap sekarang. Mari aku ceritakan apa saja yang menarik di sini.

Makam Syiah Kuala


Ini namanya Popuru. Dia bilang dia adalah penjaga makam. Sempat ngobrol juga sih sama dia. Agak sangar.
Ini tentu saja menjadi spot utama dari wilayah Deah Raya. Dulu, katanya gelombang tsunami pecah dimakam ini, sehingga ombaknya terbelah dua dan tersisalah makam beliau. Sekarang ini, makam itu tepat berada di samping lautan langsung. Sesuatu kan?

Makam ini banyak yang kunjungi. Mulai dari masyarakat Aceh sendiri hingga luar negeri. Bahkan di hari libur, banyak bis-bis yang parkir setelah menurunkan ratusan santri dari berbagai pesantren. Setelah berziarah, para pelancong biasanya langsung menceburkan diri di pantai Deah Raya, yang berada tidak jauh dari makam. Kalau sudah sore hari, penjual kaki lima juga nongkrong untuk mengais rezeki.

Zikir dan Shalawat

Di malam hari, juga ada diadakan zikir dan shalawat bersama Ust Samunzir. Semua pesertanya memakai pakaian putih. Wah, persis seperti shalat Id. Suasananya beda banget. Bayangin deh shalawat menggema diiringi deburan ombak di malam hari. Merinding. Kalau tidak percaya coba aja sendiri. Walaupun kita semua sepakat tentang keraguan berzikir di area kuburan.



Pantai Deah Raya

Pantai ini memang tidak terlihat seperti pantai pada umumnya. Berpapasan dengan tanggul, sesekali jika air laut pasang bahkan bisa sampai sebatas batu-batu tanggul itu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, paling banyak yang mengunjungi pantai ini adalah para pelancong yang telah berziarah ke kuburan Syiah Kuala. Pernah sekali waktu, aku melihat ratusan perempuan berjilbab besar, sama, bertabur di pantai. Persis seperti air gula yang dikerumuni semut. Cerita punya cerita, rupanya mereka adalah para santriwati yang sedang mengadakan darma wisata. Hingga terkadang pantai ini sering dianggap juga pantai syar’i.



Kalau di pagi hari, biasanya banyak wisatawan lokal. Ada yang mandi, bermain pasir, bahkan cuma menggalau ria menghitung butiran debur ombak. Kebanyakan sih para suami istri yang mencoba menguatkan chemistri dan sejenak melupakan anak yang masih tidur di rumah. Ada juga yang meluruskan kaki setelah lari pagi di seputaran jalan Deah Raya ini. Intinya, pantai ini kompatibel untuk semua umur.

Kalau beruntung, sore harinya kamu bisa melihat keindahan sunset di sini. Aku gak bisa bilang apa-apa soal ini. Speechless. Silakan lihat aja sendiri fotonya.


Ketika matahari dipegang. Itu tanganku.

Oiya, di malam hari pun, kalau kamu beruntung, kamu bisa melihat Bintang Laot. Aku menamainya seperti itu karena di malam hari, kita bisa melihat lampu-lampu nelayan berjejer di tengah laut dengan beragam warna. Seperti bintang di langit. Keren banget! Untuk ini aku tidak menyediakan fotonya. Silakan aja lihat sendiri.

Rujak Aceh

Di depan pantai ini ada juga dijual rujak dan mie khas Aceh. Sesuatu sekali makan rujak di depan pantai. Plus angin laut yang amboi lagoina. Saran aku sih kalau mau nyoba itu di siang hari. Makin terik makin bagus. Coba aja makan mie goreng, rujak dan minumnya teh panas. Pasti kamu akan merasakan sensasi gatal kepala bercucuran keringat yang wow! Seru deh!

Penangkaran Penyu

Tidak hanya manusia, hewan pun juga sering mengunjungi pantai ini. Sebut saja dia penyu. Para penyu sering mengunjungi pantai ini setiap tiga bulan sekali. Mereka menanam telur untuk bisa melestarikan spesies mereka. Bisa sampai ratusan bahkan. Dulu telur-telur penyu ini sering diambil warga untuk dimakan atau dijual. Mereka berjuang hidup, melawat kejinya hidup ini. Hanya pemerintahlah yang bisa menyelamatkan mereka. Tapi ketika mereka membutuhkannya, pemerintah menghilang. Sekarang pemerintah sudah bangun dari tidurnya untuk peduli dengan nasib si penyu ini. Penyu pun bahagia dan semakin sering berkunjung ke pantai ini. Jadilah pantai ini pantai penyu. Yeeee!

Setiap tiga bulan sekali, akan diadakan pelepasan tukik (anak penyu) di sini. Ini juga merupakan salah satu kampanye konservatif bagi penyu. Sudah saatnya tukik move on.


Ada satu tukik yang berubah wujud jadi manusia. Pip pip.
Peternakan Kuda

Ini yang paling cetar membahana. Kalau pagi hari di tempat lain adalah ayam yang berkokok. Maka di sini tidak. Para hewan di kampung ini antimainstream. Setiap pagi kita akan dibangunkan dengan suara sepatu kuda dan dehemnya. Persis seperti suara Cinderella pulang subuh. Atau seakan-akan kita sedang tinggal di sebuah kastil dan para kuda telah dipersiapkan untuk berjalan-jalan.

Di kampung ini ada sebuah rumah warga yang memelihara kuda. Kalau tidak salah ada sampai empat ekor. Ada satu yang berwarna putih, persis seperti kuda putihnya seorang pangeran. Cuma bedanya kulitnya sudah berubah menjadi abu-abu karena seringnya berjemur di laut. Eh? Kan kudanya anti mainstream!

Tidak perlu ke Danau Toba atau ke Takengon untuk bisa bertemu kuda. Mereka ramah kok. Tanya aja namanya langsung.


Menikmati masakan Keumamah

Ada salah satu rumah warga di Deah Raya ini yang profesinya sebagai pemasak keumamah. Dengan kuali besar, potongan-potongan ikan tongkol dimasak. Keumamah itu makanan khas Aceh. Zaman dulu ketika Aceh diserang oleh Negara Api, Keumamah menjadi makanan favorit menemani perjalanan perang.

Rumahnya mudah ditemukan, sebab tidak jauh dari jalan lintas Syiah Kuala – Alue Naga. Pun bau keumamah yang dimasak juga menggelitik hidung. Untuk masalah harga, aku kurang tahu. Sebab belum pernah membelinya. Kalau kamu berminat, bisa mencoba untuk datang dan melihat langsung bagaimana cara membuatnya. Keumamah ini sering dimasak pagi dan sore hari. Untuk foto lagi-lagi tidak aku cantumkan biar lebih penasaran. Hehe.

Khanduri Laot

Nah, di Gampong deah raya ini juga memiliki beberapa perayaan turun temurun. Salah satunya adalah Khanduri Laot. Khanduri Laot ini sama seperti khanduri pada umumnya. Tapi bedanya khanduri ini diadakan di laut. Ini diselenggarakan sebagai bentuk kearifan lokal seluruh masyarakat pesisir. Masyarakat memanjatkan doa dan bersyukur kepada Allah swt karena telah diberikan rezeki bagi para nelayan. Biasanya para Pawang Laot, Tokoh Adat dan beberapa nelayan yang sudah dituakan atau merasa tua. Selesai itu biasanya diadakan makan bersama.

Zikir Tsunami

Setiap tanggal peringatan tsunami, masyarakat Gampong Deah Raya bersama dengan masyarakat Alue Naga, Tibang dan Jeulingke melakukan zikir dan doa bersama. Katanya ini sebagai bentuk belasungkawa terhadap keluarga dan kerabat yang terkena tsunami lalu. Selain memanjatkan doa, biasanya diikuti dengan makan bersama seperti Khanduri laot.


Nah, bagaimana? Penasaran dengan tempat tinggalku? Inilah Gampong Deah Raya. Pinggiran kota Banda Aceh yang jarang terjamah dan mungkin dipandang sebelah mata. Jika dipoles dengan lebih keren dan mantap, aku yakin ini bisa jadi landmark serupa Gampong Pande. Jika berkunjung kemari, silakan berkeliling.

Tulisan ini diikutsertakan pada lomba Banda Aceh Blog Competition 2014
#CharmingBandaAceh


35 comments:

  1. Heh? Itu bukannya Lamdingin ya Lan? #kudet.
    Deah Raya itu yg kalau ditelusuri, tembus ke dekat Alue Naga ya? #kudetkuadrat @-)

    ReplyDelete
  2. Ajak kk donk ke pantainya, kk belum pernah klau ke pantai itu. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, kakak mau ajak aslan menggalau di pantai itu? #gagalpaham

      Delete
  3. Aslan emang jago ya,,,,SESUATU

    ReplyDelete
  4. mantap tu aslan,,guwe pengen tinggal d lampoh dayah. lampoh dalam bhsa aceh artinya kebun.

    ReplyDelete
  5. saya sering diantar sama kawan sepulang dri rumcay. hahaha

    ReplyDelete
  6. Besok coba main ke sana ah.. Lurus aja dari lamdingin, kan?

    ReplyDelete
  7. Wah, ada peternakan kuda!!!!!!!! Bisa nih para cadohe main ke sono hihihi terimakasih Bang Aslan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ai, silakan diperiksa hewannya ya dokter kehewanan :D

      Delete
  8. Kawai ne..Sugoi... Two thumbs up dah. ^^d

    ReplyDelete
  9. Wahh aku pernah ke sini, aku pernahhh..ke tempat kuda sama pantai (h)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, selamat kalo gitu hilwa udah pergi ke mari hehe

      Delete
  10. kok kakak gak pernah kesana ya kayaknya :-?

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, gak gaul berarti kak.. mesti kunjungi Deah Raya segera!

      Delete
  11. <- sering buang galau ke pantai di atas sendirian XD

    ReplyDelete
  12. Jadi kangen sepedaan ke sini pagi2 di akhir pekan. Suasananya masih sepi, jauh dari hingar bingar kendaraan bermotor. Dan sering tuh aku ketemu kuda yg di peternakan kuda itu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bang... di sini sering banget dijadiin jalur bersepeda. Dan para kuda pun sering buat pajak preman hehe

      Delete
  13. Sering lewat kesitu, baru ngeh kalo namanya Deah Raya.

    ReplyDelete
  14. Tulisan yang menarik. Info tentang Wisata Aceh disini juga ada : http://acehplanet.com/

    ReplyDelete
  15. ntar wktu plng mau bikin ttng kampung sendiri kayak gini deh :P

    ReplyDelete
  16. Dek. kak Syu mau lah, belajar naik kuda, apa bisa ya?

    ReplyDelete
  17. asikk, selamat aslan, blog nya juara nih, mantep :)

    ReplyDelete
  18. Keindahan kepulauan indonesia memang tidak usah diragukan lagi kelebihannya dari panorama keindahan alam yang memanjakan mata keramahan penduduknya hingga banyak wisatan asing yang berpindah tempat tinggal di indonesia mengajarkan penduduk lokal untuk Kursus Bahasa Inggris sebagai ganti mereka ingin diajarkan bahasa indonesia bukankan pemandangan yang sangat indah

    ReplyDelete

Tinggalkan Pesanmu Di Sini ^^

Powered by Blogger.