Jalan-Jalan ke Mall
“Eh lihat ini! Begini juga terbit! Padahal ceritanya gini juga,”
“Eh ini juga! Umur penulisnya baru belasan tahun tapi ini udah novel ke lima pula! Ajib!”
“Eh, lihat ini, judul bukunya “Jangan protes melihat buku, sementara kau belum menulis buku!”
Glek! Semua terdiam. Aku mengelus-ngelus dada, Adit mengurut-ngurut kepala, sementara Bang Ferhat langsung bersujud dan taubat nasuha. Ampuni aku Tuhan!!
BANG Ferhat
megap-megap seperti ikan yang dilempar keluar dari akuarium. Bercerita panjang
kali lebar mengenai kuliah Paksa Sarjananya yang baru saja usai. Sore itu, aku
yang masih bertahan di Rumcay hanya bisa duduk mencoba mencerna pembicaraannya
yang sedikit terbilang curhat. Maklum, beberapa minggu ini Bang Ferhat agak
sensitif, mungkin sedang datang bulan purnama.
“Eh, hari ini
tanggal berapa?” Bang Ferhat memotong curhatannya sendiri.
“Tanggal 12
Bang, kenapa?” jawabku setelah melihat kalender laptop.
“Eh, hari ini
pameran buku Gramedia udah dibuka lagi di Su**ya Mall. Pergi kita?”
“Boleh bang!
Kita ajak Adit juga ya!”
Segera aku
menekan tombol handphoneku, lalu tersambunglah ke handphone Adit. Aditpun
mengiyakan setelah terjadi beberapa sinyal buruk. Dan kesimpulannya, kami semua
berjanji akan berkumpul di rumah bang Ferhat selepas shalat magrib.
***
Bang Ferhat
paling semangat untuk misi malam ini. Sebenarnya nggak cuma untuk lihat-lihat
pameran, tapi lebih tepatnya mau celingak-celinguk Mall yang baru dibangun di
Banda Aceh ini. Memang enggak baru-baru banget sih. Cuma ya kaminya aja agak
telat pergaulan. Begitupun Adit yang udah lompat-lompat dari tadi begitu dapat
kabar kalau akan nongkrong di mall.
“Adit senang
bang! Adit senaaang!”
Suasana Bazar Buku Gramedia #2 |
Suasana Bazar Buku Gramedia #2 |
Dan begitu
sampai, kegaulan kami mulai diuji. Kami dipanggil-panggil sama tukang parkir,
sedangkan papan penunjuk arah menunjukkan kami untuk naik ke ruang parkir di
lantai dua. Saat itu aku naik motor yang agak besar dan membonceng Bang Ferhat.
Situasinya, kami masuk dari jalur yang salah. Bahkan tukang becakpun memarahi
kami yang mau nggak mau nilai kegaulan kami turun melewati titik minus.
Begitu masuk,
segeralah kami mencari tempat pameran buku berada.
Kami menyisir
tumpukan buku-buku. Memang dari awal kami tidak ada niat untuk membeli. Cuma survey
aja sih. Duit pun pas-pasan. Ini semua karena kami sering banget keluar makan. Entah
sejak kapan budaya traktir ada. Mungkin ini semenjak Ai datang masuk ke
perkumpulan kami, hingga aku, Adit dan Ai dijuluki 3A. Sementara Bang Ferhat
menjadi Penasehat. Mungkin itu karena ia lebih tua dari kami dan sudah memiliki
pekerjaan. Jadinya ya, kami sering minta ditraktirin. Hihi.
Sejak
bergabung di FLP, rasanya aktivitas membaca dan membeli buku sudah menjadi
berbeda. Sekarang lebih kritis, bahkan sekedar melihat-lihat buku baru untuk
melihat trend apa yang sekarang sedang digandrungi pembaca. Melihat bagaimana
jenis buku yang best seller, sampai protes melihat banyaknya buku yang terbit
begitu saja.
“Eh lihat ini!
Begini juga terbit! Padahal ceritanya gini juga,”
“Eh ini juga!
Umur penulisnya baru belasan tahun tapi ini udah novel ke lima pula! Ajib!”
“Eh, lihat
ini, judul bukunya “Jangan protes melihat buku, sementara kau belum menulis
buku!”
Glek! Semua terdiam.
Aku mengelus-ngelus dada, Adit mengurut-ngurut kepala, sementara Bang Ferhat langsung
bersujud dan taubat nasuha. Ampuni aku Tuhan!!
Bagi penulis
yang belum punya buku, mengunjungi toko atau pameran buku adalah salah satu
cara imunisasi yang jitu. Semangat membara, ide menulis pun melompat-lompat dan
berpijar di atas kepala. Seakan-akan, satu judul buku akan segera selesai dalam
satu malam. Ya! Satu malam dalam mimpi! Begitu bangun, kenyataan hidup pun
membuat kita kembali tertidur.
Beberapa kelemahan
kita sebagai penulis tanpa buku adalah memiliki ekspektasi tinggi. Ingin sekali
buku pertama terbit itu best seller, laku di pasaran, di filmkan, dapet royalti
puluhan juta, nikah, bangun rumah, beli mobil, dan bla-bla-bla. Hingga akhinya
satu halaman buku pun tidak pernah kelar. Inginnya sempurna, dan kalimat demi
kalimat pun tidak tersusun.
Beberapa buku
yang kami lihat, terkesan biasa. Bahkan ada ide yang terbilang sama dan sempat
terpikirkan. Namun, kita kalah di aksi. Mereka sudah menerbitkannya sementara
ide kita sudah bersarang laba-laba. Ada beberapa buku yang memberi pelajaran,
bahwa yang terpenting itu selesai naskah, tidak perlu memikirkan pendapat
pembaca akan suka atau tidak. Sebab setiap buku akan menemukan pembacanya.
Bang Ferhat
paling heboh malam itu. Sesekali liar, membuka plastik buku tanpa izin karena
penasaran akan isi bukunya. Mataku segera melihat ke sekeliling, memastikan
tidak ada yang melihat perbuatan berdosa Bang Ferhat.
“Adit, kau mengenal orang ini?” tanyaku sambil
menunjuk Bang Ferhat.
“Tidak Bang,”
Aku dan Adit
langsung menyingkir dari TKP, pura-pura tidak mengenal Bang Ferhat.
“Adit, beli
es krim di mana?” aku bertanya setelah melihat beberapa orang lalu lalang
menikmati es krim kaya rasa.
“Kayaknya di
lantai dua tadi Bang, beli kita?”
“Boleh. Yuk
kita ke atas!”
Sesampai di
depan Ice Cream Corner, kami berdiri sejenak, berdiskusi.
“Astaga! Abang
mau keluar dari grup ini. Kita hedonis kali! Miskin abang lama-lama,”
“Tapi es
krimnya menggoda Bang! Lihat tu es krimnya warna warni ditaburi coklat, dan
dilumuri saus coklat. Bang, ayolah kita beli! Bang! Bang!” Aku memelas Iba.
“Enggak mau
Abang! Kalian aja yang beli!”
“Adit mau
Bang! Ayo kita beli!” Adit langsung maju.
“Oke adit! Kita
berdua aja yang beli,” cetusku sambil mengikuti Adit.
“Mas,
berapaan eskrimnya?” tanyaku membuka percakapan.
“Dua belas
ribu Mas,”
“Itu boleh
campur?”
“Enggak. Itu
satu rasa aja,”
“Kalau campur
berapa mas?”
“Lima belas
ribu. Tempatnya yang ini, kalau yang dua belas ribu yang kecil ini” jawab
penjual es krim sambil menunjukkan model mangkuk es krim.
“Oh, itu tiga
campuran bisa mas?”
“Oh enggak
bisa. Kalau tiga harganya 36 ribu mas!”
Jegeerrr! Mahal banget.
Aku mau
mundur dari tempat itu, tapi kepalang basah. Aku, Bang Ferhat dan Adit saling
melirik mencoba membaca pikiran masing-masing. Kami akan jatuh miskin. Kami bangkrut!
“Gimana? Kita
pulang aja?” pikiran Bang Ferhat masuk di pikiranku dan Adit.
“Eh,
terlambat Bang. Kita sudah terkepung.” Adit menjawab pikiran bang Ferhat.
“Bagaimana
ini?” mataku kelilipan melihat mata Adit dan mata Bang Ferhat yang sudah berapi
dan hampir keluar.
“Yaudah Abang
beli yang 15 ribu aja,” Bang Ferhat lesu.
“Yaudah Adit
juga yang 15,” Adit lebih lesu.
“Yaudah.
Bang, yang 15 tiga!” Aku hampir meleleh.
Akhirnya,
kamipun mojok di sudut mall, terpuruk sambil menikmati es krim. Bang Ferhat
memilih rasa durian plus vanila chocochip,
Adit vanila chocochip plus choco mocca
sementara aku cappuchino plus vanila
chocochip.
Sesekali kami
tertawa, kemudian terdiam. Lalu tertawa lagi.
Aku dan Adit, Mojok di tangga sambil makan es krim |
Setelah
menyusuri Mall Aceh ini, melihat lelaki-lelaki tua bermain bum-bum car yang ditontoni anak-anak, melihat para pekerja menyusun
patung model pakaian, cleaning service mondar mandir membersihkan lantai, dan
kegiatan mall-mallan lainnya, kamipun pulang.
"Adit, pulang ini abang mau selesaikan skripsi dulu, baru kita mulai nulis buku. Gegara skripsi proyek buku tertunda terus!" Celetukku dengan kobaran semangat membara, lalu berubah super saiyan.
"Iya bang. Adit juga mau selesaikan proyek buku Adit. Masa kita belum terbitin buku, sih!" Jawab Adit sambil menaiki meja tukang parkir. Segera akupun menurunkannya setelah dimarahi pak satpam.
"Kalau Bang Ferhat?" tanyaku sambil berpaling ke arah Bang Ferhat.
Eh, Bang Ferhat kemana?? Bang Ferhat Menghilang...
***
Di suatu tempat di Mall.
"Eh, kemana Aslan dan Adit?? Durhaka mereka sama orang tua. Kenapa pula ditinggal di sini. Adit!! Aslan!! Di mana kalian??
Inilah penampakan Adit, owner harikesetrum.blogspot.com |
Ini Bang Ferhat. Menyalahi Sunnah! Makan sambil berdiri. |
Adit dan Bang Ferhat menikmati Mall dari lantai 2. |
coba nonton ftv atau sinetron indo sekali2, pasti kedorong utk nulis jg deh!
ReplyDelete*ifuknowwhatimean. =))
itu es krim harganya gk sberapa mahal kalo dibanding disini ;-(
wkwkwkw... sepertinya sering banget nonton ftv ya di Jepang? :-d
DeleteIya, kemarin itu kami beli di jepang harganya 500 yen kalo ga salah..
heboh banget yaa.. lucu kali kali kali,,
ReplyDeletekenapa gak da yg komen yaa?? :>)
Mungkin karena tulisannya ga menarik Helka ;-(
DeleteTulisannya kereeeeeeeen ahahahhaa.
ReplyDeleteSingkat namun padat
Hehehe... terima kasih banyak Nendi sudah berkunjung ke blog saya :)
DeleteKasihan baru dikit yang komen... komen ah.
ReplyDeleteBang Ferhat jadinya dimana, Lan? :-?
Endingnya koq ngga terduga gitu yaa ?
ReplyDeletehmmm
:))
lucu..
ReplyDeletesaya suka,..
di tunggu cerita2 yang lucu lain lagi
:)