Ketika Ibu Tiada
Malam itu, di rumah sakit, semua orang bergantian membacakan Alquran untuk ibuku. Aku saat itu sudah sangat ngantuk, karena seharian di rumah sakit. Saat itu kalau tidak salah jam 3 pagi. Ketika giliranku, aku pun duduk dipinggir tempat tidur mulai membuka Alquran. Ketika hendak membaca, aku merinding mendengar suara deru oksigen dari hidung ibuku yang keluar. Oksigen itu tidak masuk. Apa yang terjadi? Segera aku bangunkan semuanya. Aku histeris dan bertanya-tanya, “Ibu kenapa? Ini oksigennya kok enggak berfungsi?” Ibu meninggal! Ibu meninggal!”
PADA tanggal
27 Mei nanti adalah tepat delapan tahun ibu meninggalkan kami. Ibu meninggal
dunia di Rumah Sakit Kesdam Banda Aceh. Aku adalah orang yang pertama menyadari
kematian ibu, setelah selama sebulan lebih menjaganya dari sakit yang
berkepanjangan.
Ibu menderita
penyakit pengapuran pada pinggang, yang ditaksir terjadi akibat pernah jatuh
pingsan di sekolah dulu sehabis mengajar. Mungkin karena tidak diobati, tulang
pinggang pun mengalami pengapuran. Akibatnya terjadi komplikasi setelah itu berupa ginjal yang telah mengalami kegagalan. Aku tidak mengerti apa yang
terjadi waktu itu. Saat itu aku baru saja selesai mengikuti UN SMP. Yang aku
ingat, Ibu baru saja selesai menjalani operasi pemasangan pen di pinggangnya di Rumah Sakit Haji Medan.
Operasi
berhasil. Ibu harus menjalani perawatan untuk bisa kembali pulih. Oh iya,
ibu tidak bisa berdiri lagi. Awalnya kami sekeluarga telah mengumpulkan uang
dan harta untuk mengantarnya ke Penang Malaysia, namun tidak cukup karena
ternyata ibu membutuhkan pesawat khusus yang biayanya tidak murah. Akhirnya diurungkan
dan dirawatlah di Rumah Sakit Haji Medan.
Belum genap
dua minggu pasca operasi ibu, nenek yang telah sebulan lebih merawat ibu di
rumah sakit ini meminta kembali ke kampung. Karena alasan lidah sudah tidak
bisa lagi tolerir dengan masakan Medan, pun alasan lain seperti ayam dan bebek
yang sudah sebulan tidak diberi makan. Akhirnya perawatan ibu dihentikan dan
kami pun pulang ke Banda Aceh.
Ibu seminggu
berbaring di rumah Bibiku, sampai akhirnya dirawat di Rumah Sakit Kesdam. Begitu
masuk, ibu dinyatakan koma dan harus menggunakan tabung oksigen. Semua keluarga
berkumpul, dari nenek ibuku yang masih hidup sampai segenap keluarga yang datang
dari desa. Termasuk seluruh adikku yang bergegas pergi setelah mendapat kabar
ibu kritis.
Ada beberapa
hal pertanda yang terjadi, yang awalnya aku tidak begitu tahu apa maksudnya. Nanti
di akhir cerita aku akan menjelaskannya. Pertama, ibu menangis sejadi-jadinya,
memanggil-manggil nenekku, dan memeluknya seraya meminta maaf. Kedua, ini yang
paling menyedihkan bagiku, ia tidak lagi mengingat namaku. Ia selalu
memanggilku dengan sebutan ‘Rizal’ yang itu adalah nama pamanku, adiknya.
Malam itu, di
rumah sakit, semua orang bergantian membacakan Alquran untuk ibuku. Aku saat
itu sudah sangat ngantuk karena seharian di rumah sakit. Saat itu kalau tidak
salah jam 3 pagi. Ketika giliranku, aku pun duduk dipinggir tempat tidur dan mulai
membuka Alquran. Ketika hendak membaca, aku merinding mendengar suara deru
oksigen dari hidung ibuku yang keluar. Oksigen itu tidak masuk. Apa yang
terjadi? Segera aku bangunkan semuanya. Aku histeris dan bertanya-tanya, “Ibu
kenapa? Ini oksigennya kok enggak berfungsi?” Ibu meninggal! Ibu meninggal!”
Aku segera
keluar kamar. Duduk sendiri di kursi, memeluk bantal. Aku benamkan wajahku
sepenuhnya dan akupun menangis tanpa suara. Itulah tangisan terpanjang yang
pernah aku alami. Aku menjadi tidak berdaya, seakan separuh hidupku hilang. Aku
seperti tidak bisa berpikir. Sesekali tangisku mereda, mencoba berpikir apa
yang terjadi, dan ketika aku tahu ibuku telah meninggal dunia, aku menangis
lagi. Kini dengan teriakan dan suara yang menyakitkan. Ibu kemana? Ibu kok ninggalin putra sendiri?
Setelah mayat
dirapikan, ibu pun dibawa ke Sabang. Selama di kapal aku terus melihat ombak
yang pecah dibelah kapal. Memori lama pun bangkit dan teringatlah masa-masa
dulu ketika aku selalu ke sabang bersama ibu dan keluarga. Aku selalu mual dan
tidur di samping ibu. Kini, malah aku yang duduk sedang ibu berbaring di
sampingku. Maka meneteslah air mata lagi. Kali ini aku diam-diam agar tidak ada
yang tahu bahwa aku menangis. Aku mencoba terlihat tegar.
Pagi itu, aku
ditipu. Aku shalat zhuhur agak telat dan setelah itu aku melihat adikku, Rara
yang masih sangat kecil menangis sendiri di depan kamar. Akupun menggendongnya,
menenangkannya dan mencari kakakku untuk mengambil Rara. Tapi semua orang tidak
ada. Bahkan setelah beberapa lama aku malah melihat kakakku mengenakan mukena
bersama kedua adikku yang lain. Apa? Salat Jenazah telah selesai dan aku tidak
sempat mensolatkan ibuku. Saat itu aku sangat begitu kecewa dengan kakakku. Sangat
kecewa. Aku marah.
Hingga akhirnya
pun dikuburkanlah ibuku, di atas bukit, di bawah pohon, yang disitu kita bisa
melihat laut sekitar sabang yang sangat biru. Ibu dikuburkan tepat di samping
kuburan kakek. Semua prosesi berjalan lancar dan kamipun pulang. Aku mencoba
senyum, tegar hingga sore hari. Dan ketika tidak tahan lagi, aku berlari ke
dalam kamar. Membanting tubuhku ke tempat tidur dan memeluk bantal dengan erat.
Aku menangis lagi. Dengan air mata yang lebih banyak. Hingga kelelahan dan
akupun tertidur. Berharap ketika bangun nanti semua ini hanya mimpi, dan
memeluk ibu dengan segenap cinta.
***
Kau tahu? Betapa
sulitnya menjalani masa remaja tanpa seorang ibu? Ketika rasa menggebu di dada
terhadap pubertas yang terjadi, tidak ada tempat mengadu. Ketika ingin
bercerita tentang prestasi yang dituai di sekolah, tidak ada tempat
membanggakan diri. Bahkan ketika diri sedih, terpuruk dan ingin mati, tidak ada
tempat bercurah rasa. Semua aku simpan sendiri. Bahkan aku terpaksa menjadi
seorang abang yang pura-pura tegar untuk adik-adikku. Selama tiga tahun,
merawat ketiga adikku bersama ayah, tanpa ada campur tangan wanita. Kakakku
pergi di sekolahkan ke luar kota. Sementara aku, setiap pagi berkutat dengan
ngompol yang meresap di tempat tidur mereka, menggendong adik yang menangis ketika
ayah pergi bekerja, mencuci pakaian mereka, dan mengajari mereka semua apa yang
pernah ibu ajarkan padaku. Mencurahkan segala kasih sayang yang pernah ibu
berikan kepada mereka. Bahkan aku ragu, Rara masih ingat wajah ibu hingga
sekarang atau tidak, sebab saat itu ia masih bulanan umurnya.
Apalagi ketika
aku terpilih menjadi ketua umum organisasi keislaman di SMA. Aku menahan haru
ketika mengucapkan terima kasih saat acara pelantikan untuk kedua orang tuaku
yang telah membesarkan aku hingga bisa menjadi seorang pemimpin di masa
sekolah. Aku ingin bercerita pada ibu, kalau aku sudah berubah. Bukan anak
manja yang selalu muntah diperjalanan, selalu tidak berani ketika malam tiba,
dan selalu takut setiap pergi seorang diri. Sebab sejak masuk sekolah, aku
sudah bertekad ingin membanggakan ibuku, dan sedikit banyak aku mulai menuai
prestasi. Bu, semua ini berkat dirimu!
Terima kasih!
Umur itu tidak
ada yang tahu, kan? Dulu di suatu malam, ketika kami semua bercengkerama,
bergembira bersama di ruang keluarga, ibupun berceloteh, “ibu ingin meninggal
kalau kalian semua nanti sudah menikah. Jangan cepat kali. Punya cucu dan kita
bahagia bersama,” tiba-tiba ibu mendahulukan kami dengan beragam kesedihan. Hingga
di suatu waktu pun, kadang kala aku terduduk diam. Berpikir tentang umurku yang
tidak tahu kapan berakhirnya, umur ayahku dan umur adik-adikku. Bagaimanapun harus
siap kapanpun, sebab nyawa tidak pernah kompromi untuk dicabut.
Tanda yang di atas itu, saat ketika ibuku tidak mengenaliku lagi, baru aku mengerti ketika mengikuti pesantren kilat semasa SMA. Ustadz memberitahu bahwa sebelum seorang ibu akan meninggal, maka ia akan dicabut rahim daripadanya, sehingga rasa sayang kepada anak tidak ada lagi.
Tanda yang di atas itu, saat ketika ibuku tidak mengenaliku lagi, baru aku mengerti ketika mengikuti pesantren kilat semasa SMA. Ustadz memberitahu bahwa sebelum seorang ibu akan meninggal, maka ia akan dicabut rahim daripadanya, sehingga rasa sayang kepada anak tidak ada lagi.
Sebelum ini
semua berakhir, aku hanya ingin agar adik-adikku besar dengan baik, Memiliki
pendidikan yang baik, dan menjadi pribadi yang baik. Sementara aku, kemudian
lepas dengan tanggung jawab mereka, dan melanjutkan hidup agar bisa menyebarkan
kasih sayang ibu pada siapapun, bersama keluargaku nanti.
Selamat Jalan ibu, Semoga kuburmu selalu
bercahaya, masuk ke dalam surgaNya, dihapuskan dosa-dosamu, dijaga dan
dilindungi oleh Allah hingga akhirat nanti.
![]() |
satu-satunya foto yang tersisa setelah laptop hilang >,< |
Asnita Nurlaini (9 Desember 1968 – 27 Mei 2007)
tijoh ie mata bak baca tulisan nyoe :'(
ReplyDeleteWah, maaf kak udah buat kakak tijoh ie mata...
Delete;-(
ReplyDeletejangan nangis ai...
Deletesangat mengharukan aslan ... ;-(
ReplyDeleteHhehe.. mohon doanya bang :)
DeleteTerimakasih Aslan sudah menuliskannya. Mengingatkan kami y masih diberi kesempatan olehNya melalui masa-masa sulit bersama ibu. Smoga ibunya Aslan ditempatkan pada tempat terindah. Aamin ya rabbal alamin. :)
ReplyDeleteaaamiiiin terima kasih kak Isni :)
DeleteDari sini baru kakak ngerti, kenapa Syu panggil Aslan, Putra.
ReplyDeleteMakasih ya ceritanya, jadi bikin kakak berfikir untuk mmpersiapkan anak yang bisa setegar Aslan, jika sewaktu-waktu, kakak atau suami kakak mendahulukan mereka.
Tapi aslan ga nyaman dipanggil Putra sama yg bukan keluarga kak -_-
DeleteSama-sama kak, Semoga bisa menginspirasi :)
;-(
ReplyDeletelap ingusnya Mukhlis...
DeleteIbu Aslan pasti bahagia dan bangga Putra-nya tumbuh sehebat ini. :)
ReplyDeleteHhehe... mohon doanya kak :)
DeleteAslan, semalam saya bermimpi ibu saya. Setelah baca tulisan ini, saya benar-benar menumpahkan air mata, saya menangis. Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan melihat ibu tersenyum, semakin besar rasa cinta saya. Terima kasih telah menulis ini.
ReplyDeleteSama-sama bang, Aslan juga senang bisa berbagi :)
DeleteSemoga bisa menginspirasi :)
Semoga pahala untuk almarhumah terus mengalir dari anak2nya yng shalih & shalihah...
ReplyDeleteAaamiiin... terima kasih bang :)
DeleteYour mother was very proud have a son like you, Aslan ....
ReplyDelete#Al-Fatihah for your Mom
Thank you brother.. Aaamiiin.. :)
Delete;-( betapa besar ketegaraan dlm dirimu dek.. yg kuat, tetap semangat, ttp mnjd lelakintaat hingga akhir hayat. Sungguh pljrn yg brharga buat kk... Allahummaghfirlaha warhamha.
ReplyDeleteAlfatihah...
Aaamiiin... terima kasih kak :)
Deletesmg Allah meridhai dan memberikan ampunan untuk beliau dan untuk kita semua, insyaa Allah,,aamiin
ReplyDeleteaslan... ;-( ;-( ;-(
ReplyDeleteIbu Aslan cantik ya.
ReplyDelete;-( ;-( ;-( ;-( ;-( ;-( ;-(
baru tau bang Aslan punya kakak, ibu bg Aslan mukanya Aceh banget
ReplyDelete;-(
Semoga almarhumah diberikan kebahagiaan ya, Aslan. Dan Aslan bisa menjadi putranya yang hebat :)
ReplyDeleteCerita Aslan sediiihhhh.... :-(
ReplyDeleteJadi kangen ummi ;-( ;-( ;-( semoga ibu nya bang aslan dilapangkan tempatnya dan bisa ketemu di syurga ntar o:)
ReplyDelete6 hari lagi yaaa,,, Ibu Aslan pasti banggaa
ReplyDeleteHttp://Rizkiabsurd.blogspot.com
ReplyDelete(Y), saya smpai baca bbrpa x bang. superr sx bg Aslan!!! (p)
ReplyDelete