Belajar Dari Jepang: Kreatif Menghadapi Bencana
Seperti di kota Nagareyama tempat saya homestay selama dua hari. Ibu kami mengajak kami jalan-jalan dan menjelaskan persiapan desa mereka dalam menghadapi bencana. Setiap lorong memiliki satu ketua kebencanaan yang bertanggung jawab menyebarkan informasi mengenai kebencanaan kepada tiap-tiap rumah di bawah pengawasannya. Kemudian tiap-tiap ketua ini harus melapor ke kepala RT dan begitu seterusnya sampai ke tingkat kota.
Gempa dan tsunami yang melanda Aceh
sepuluh tahun silam memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tetap terus
waspada terhadap bencana. Dahulu siapa yang akan mengira akan ada gempa yang
menghancurkan gedung-gedung dalam beberapa menit? Dan siapa yang menyangka
bahwa akan tumpah air dari laut dan memporak-porandakan daratan? Tidak ada yang
sadar, hingga akhirnya ribuan nyawa pun terenggut.
Setelah sepuluh tahun ini, kita
semua bisa melihat kondisi Aceh yang kini telah disulap menjadi kota yang
bercorak siaga bencana. Evacuation Route
Sign dimana-mana, Escape Building
kokoh berdiri di beberapa tempat yang dekat dengan laut, beberapa bekas tsunami
dan gempa menjadi tempat wisata dan bahkan museum tsunami yang megah tampak
menjadi icon baru bagi Banda Aceh.
Lantas, apakah Aceh benar-benar sudah siaga terhadap bencana?
Perlu kita kaji lagi mengenai
ini. Mengingat, Tsunami Drill yang
dilakukan pemerintah sifatnya tahunan dan banyak fasilitas yang dibangun pasca
tsunami untuk mendukung pencegahan bencana malah tidak terawat. Beberapa tempat
wisata yang tujuannya untuk menyadarkan masyarakat akan dahsyatnya bencana yang
pernah terjadi hanya memberi rasa haru dan minim pengetahuan agar siap pada
bencana yang akan datang di masa berikutnya.
Alhamdulillah, saya di bulan
maret lalu berkesempatan untuk mengunjungi Jepang pada kegiatan JENESYS 2.0
Disaster Prevention Course selama sembilan hari. Sesingkat itu saya banyak
mengambil pelajaran dan tips trik dalam mencegah dan menghadapi bencana serta
pemulihan pasca bencana. Beberapa di antaranya malah tidak terkait sedikitpun
terhadap kecanggihan teknologi yang Jepang miliki. Oleh sebab itu saya yakin
Aceh bisa lebih jauh siap dalam penerapannya.
Persiapan Sebelum Bencana
Bencana yang pernah terjadi tentu
saja menjadi pelajaran yang baik untuk pencegahan selanjutnya. Misalnya,
bagaimana gejala alam yang terjadi sebelum tsunami, apa-apa saja yang harus
dipersiapkan ketika bencana datang, dan bagaimana menyelamatkan diri ketika
bencana datang. Berikut ini beberapa cara untuk meningkatkan persiapan dalam
menghadapi bencana.
1. Mengetahui Manajemen Siaga Bencana Gampong
Setiap individu harus paham kemana harus berlari ketika tsunami datang |
Di Jepang, manajemen bencana
terintegrasi mulai dari lini pemerintahan sampai rumah tangga. Setiap orang
diwajibkan paham terhadap apa yang harus ia lakukan sebagai bagian masyarakat
setempat demi keselamatan terhadap bencana. Misalnya sebagai dokter yang sedang
merawat pasien di rumah sakit, apa yang harus dilakukan ketika bencana datang.
Begitu juga untuk para tentara, pegawai kantoran, anak sekolah hingga para
disabilitas.
Seperti di kota Nagareyama tempat
saya homestay selama dua hari. Ibu kami mengajak kami jalan-jalan dan
menjelaskan persiapan desa mereka dalam menghadapi bencana. Setiap lorong
memiliki satu ketua siaga kebencanaan yang bertanggung jawab menyebarkan informasi
mengenai kebencanaan kepada tiap-tiap rumah di bawah pengawasannya. Kemudian
tiap-tiap ketua ini harus melapor ke kepala RT dan begitu seterusnya sampai ke
tingkat kota.
Setiap RT memiliki meeting point yang berbeda-beda
mengingat agar jarak dari rumah menuju tempat-tempat meeting point lebih dekat. Biasanya digunakan gedung sekolah.
Apabila bencana terindikasi semakin berbahaya, maka seluruh warga diarahkan
menuju escape building. Bagi sekolah
yang bukan merupakan tempat meeting point,
semua murid akan diarahkan oleh guru-gurunya untuk bergerak ke tempat escape building. Ini agar tidak ada
anggota keluarga yang terpencar.
Begitu pula untuk perkantoran dan
instansi pemerintah memiliki manajemen mitigasi bencana yang berbeda-beda.
Setiap lini diajarkan untuk mandiri dan untuk disaster prevention drill biasanya dilakukan mandiri oleh
masyarakat RT, sekolah dan perkantoran. Untuk tempat umum biasanya disediakan
tanda jalur evakuasi.
Di Aceh juga bisa diterapkan
seperti ini dengan memandirikan pencegahan bencana dari tingkat gampong. Setiap
kepala dusun bertanggung jawab terhadap keselamatan masyarakat dusunnya.
![]() |
Surat edaran bagi setiap kepala keluarga dari ketua siaga kebencanaan |
2. Rumah Siaga Bencana
![]() |
Rumah Yamazaki-san yang telah menerapkan Rumah Siaga Bencana |
![]() |
Kantor Kepala Desa yang sering dijadikan tempat berkumpul para ketua siaga bencana |
Di Jepang, setiap rumah memiliki
tas siaga bencana. Isi tas siaga bencana terdiri dari selimut, makanan kaleng
yang tahan sampai 3 bulan, botol minuman, arsip penting, senter, dan
obat-obatan. Tas ini diletakkan di dekat pintu rumah atau tempat yang mudah
terjangkau. Jadi apabila terjadi bencana, bisa langsung mengambil tas ini.
Di rumah homestay kami lebih preventif. Dua buah helm diletakkan tepat di
atas pintu dan terikat dengan tali yang disimpulkan di dinding dekat engsel
pintu. Jadi ketika menarik tali tersebut, maka helm akan turun ke bawah. Helm
digunakan karena di Jepang sangat rawan terjadi gempa.
Tas siaga ini masih sangat jarang
diterapkan di Aceh. Seharusnya perlu karena di saat bencana terjadi kita tidak
sempat lagi packing barang.
Masih ada kaitannya dengan
manajemen siaga bencana gampong, di Jepang setiap rumah memiliki masing-masing
peta evakuasi. Di Aceh hal ini perlu disediakan pula, karena belum tentu seisi
rumah paham kondisi di daerah tempat tinggalnya, atau mungkin ada saudara yang
hanya menetap baru sehari atau dua hari sehingga masih bingung cara evakuasi.
Peta evakuasi wajib dimiliki oleh setiap rumah |
3. Bukan Sekedar Museum
Museum Sona AreaTokyo memberikan pengalaman dalam menghadapi bencana |
Saya di Disaster Prevention Gallery, Sona Area Tokyo |
Tempat yang kami kunjungi di
Jepang sangat berbeda dengan museum tsunami yang ada di Banda Aceh. Jika di
museum tsunami Banda Aceh lebih kepada memori tentang kedahsyatan tsunami, di Sona
Area Tokyo lebih kepada mengajarkan pengunjung tentang kesiapan terhadap
bencana. Di sana disediakan simulasi bagaimana bertahan hidup selama 72 jam.
Selain itu juga dipamerkan
beragam barang persiapan yang berbeda-beda untuk penanganan bencana yang
berbeda-beda pula. Misalnya barang-barang yang harus disediakan untuk pemulihan
trauma anak-anak, barang-barang yang harus dipersiapkan untuk bertahan hidup,
dan beberapa barang lainnya yang dipisah sesuai dengan kebutuhan. Bahkan
beberapa botol minuman bekas dijadikan meja darurat.
Botol bekas disulap menjadi meja darurat |
Tempat ini tidak hanya untuk
menyampaikan sejarah yang ada tapi juga lebih kepada persiapan apa yang harus
dipersiapkan oleh kita demi menghadapi bencana yang akan terjadi ke depan. Ini
lebih efektif dan lebih mengedukasi masyarakat.
Sebaiknya museum tsunami banda
aceh juga disediakan bagian untuk belajar persiapan menghadapi bencana gempa
dan tsunami di masa yang akan datang.
![]() |
Karya anak-anak yang dipajang di Galery. Anak-anak juga dikenalkan dengan bencana dengan media yang menyenangkan |
![]() |
Beberapa peralatan yang harus dipersiapkan ketika bencana terjadi sesuai dengan umur dan profesi |
![]() |
Salah satu permainan yang disiapkan untuk proses pemulihan pasca bencana bagi anak-anak |
4. Universitas Sebagai Laboratorium Ilmu Kebencanaan
Simulasi kecepatan tsunami di Chiba Science of Institute |
Simulasi gempa bumi di Chiba Science of Institute |
Ada baiknya di setiap daerah yang
pernah terkena tsunami memiliki satu universitas yang intern mengkaji dan
meneliti puing-puing tsunami yang masih tersisa di seputar daerah bekas
terjangan gempa dan tsunami. Hal ini agar persiapan suatu daerah lebih teruji
secara ilmiah. Selain untuk meneliti bagaimana proses bencana terjadi,
universitas juga bisa membuat inovasi-inovasi terbaru guna mengurangi dampak
bencana.
Seperti di daerah Chiba, Jepang,
Chiba Science of Institute rutin mengadakan penelitian mengenai tingkat
kekuatan gempa dan bagaimana cara mendesain perabot rumah anti gempa, serta
menghitung tingkat kecepatan air tsunami sehingga bisa memperkirakan jarak rute
terdekat pada tiap-tiap tempat rawan bencana. Dan masih banyak lagi penelitian
yang telah dilakukan.
Di Aceh, harus ada universitas
yang mengkaji lebih dalam agar Aceh bisa lebih siap dalam menghadapi bencana.
Sejauh ini baru Unsyiah dengan magister kebencanaannya. Ke depan diharap lebih
banyak kampus yang mau fokus terhadap penelitian kebencanaan yang sampai saat
ini masih terus diteliti oleh para ilmuan Jepang. Mengingat Aceh yang telah dan
pernah diterjang tsunami harus bisa melahirkan ilmu-ilmu kebencanaan agar bisa
digunakan bagi negara-negara lain yang belum pernah terkena tsunami.
5. Fasilitas Untuk Penyandang Disabilitas
![]() |
Di Jepang juga mengutamakan keselamatan bagi disabilitas |
![]() |
Di beberapa tempat di Jepang disediakan informasi ketinggian daratan dengan laut |
Jujur saja Aceh masih sangat
minim atau bahkan mungkin tidak ada fasilitas bagi mereka yang kurang dari segi
fisik. Seperti pada panti disabilitas yang ada di daerah Ladong, Aceh Besar.
Mereka mengakui tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempa bumi.
Mereka masih tetap berada di ruangan dan tidak tahu harus berlari kemana.
Beberapa teman saya yang
tergabung dalam tim Life For Share beberapa bulan lalu mengadakan kegiatan
pelatihan kebencanaan bagi mereka dan memasang peralatan-peralatan sederhana untuk
evakuasi bencana. Seperti menarik tali panjang agar bisa diraba oleh mereka
yang tunanetra untuk bisa menuju tempat yang aman. Untuk di daerah-daerah umum
seperti rumah sakit, mall, museum dan perkantoran masih belum menyediakan
fasilitas bagi para penyandang disabilitas di Aceh.
6. Story Telling
Beberapa orang menceritakan pengalamannya berhadapan dengan tsunami di komunitas story telling |
Di Jepang ada komunitas story telling yang memberikan ruang
bercerita bagi para korban gempa dan tsunami. Mereka menjelaskan bagaimana
bencana itu terjadi dan bagaimana mereka bisa berjuang untuk hidup. Memang
kesannya membosankan karena harus mendengar cerita yang sama. Namun konsep
komunitas story telling ini lebih
disediakan bagi para pengunjung yang belum pernah mendengar cerita mengenai
kisah selamat dari Tsunami. Kegiatan story
telling ini tidak lebih dari sejam dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
Di Banda Aceh, story telling ini sudah ada di museum
tsunami dan selalu diadakan ketika ada rombongan yang mengunjungi museum
tsunami. Namun, baiknya kegiatan tidak selalu harus diceritakan pada event-event
tertentu. Sebaiknya cerita mengenai tsunami harus terus disampaikan dari orang
tua ke anak dan begitu seterusnya agar terus sampai hingga ke generasi berikutnya.
Karena sebelum terjadi tsunami pada tahun 2004, sebenarnya Aceh sudah pernah
dilanda tsunami. Namun akibat informasi yang terputus ini, membuat banyak
korban yang terenggut.
Konsep story telling ini sudah pernah diterapkan oleh generasi dahulu
ketika mengerti istilah smong di
Simeulue. Ketika terjadi gempa tahun 2004 lalu, masyarakat percaya bahwa air
laut akan naik beberapa saat nanti dan mereka semua naik ke gunung untuk
menyelamatkan diri. Ini membuat sebagian besar masyarakat di Simeulue selamat
dari tsunami.
7. Maskot Papa Genk
Penyampaian informasi mengenai
kesiapan terhadap bencana jelas berbeda antara orang dewasa dan anak-anak.
Anak-anak mudah bosan dan terkadang sulit mencerna bahasa-bahasa ilmiah seputar
kebencanaan. Padahal mereka sebagai calon generasi yang akan datang harus paling
siap untuk menghadapi bencana. Untuk itu penyampaian informasi harus lebih
menyenangkan dan lebih interaktif.
Saya dan beberapa teman yang
tergabung dalam tim Geumeutoe menginisiatifkan ide terhadap konsep penyampaian
persiapan bencana terhadap anak-anak. Kami membuat satu maskot gajah kuning
lucu bernama Papa Genk untuk mengajarkan dan mengingatkan anak-anak untuk
selalu siaga dan waspada terhadap bencana. Jadi, ketika terjadi bencana,
anak-anak tidak panik dan langsung ingat pesan-pesan dari Papa Genk tentang apa
yang harus mereka lakukan ketika bencana datang. “Aku ingat pesan Papa Genk! Aku tidak boleh panik!”
Papa Genk ini direncanakan akan
dibuat dalam bentuk animasi, augmented
reality, komik dan poster.
8. Kearifan Lokal Aceh
Di antara semua hal yang
diterapkan Aceh untuk siaga bencana, kearifan lokal adalah yang paling menarik.
Terbukti, Jepang sampai sekarang masih mengkaji mengenai kearifan lokal yang
ada di Aceh untuk bisa diterapkan di negara mereka. Lho? Kenapa bisa? Bukannya
Jepang telah mapan dalam hal siaga bencana? Lalu kenapa masih memakai cara Aceh
yang masih tradisional? Begitulah. Selalu ada cara untuk belajar. Mereka terus
dan terus melakukan penelitian demi mendapatkan pengetahuan baru. Mereka saja
mau belajar dari kita, kenapa kita tidak mau belajar dari mereka?
Untuk itu penting untuk tetap
terus melestarikan kearifan lokal aceh khususnya yang terkait dengan persiapan
bencana. Saya yakin dan percaya akan banyak ilmu mengenai kebencanaan yang lahir
dari Aceh.
Keseluruhan cara yang saya
sebutkan di atas bisa dilakukan tanpa perlu memiliki teknologi yang canggih.
Walaupun diakui memang di Jepang telah dilengkapi dengan teknologi pendukung
seperti tsunami radar dan lainnya. Namun walaupun begitu, inti dari
penyelamatan adalah dari diri kita masing-masing. Karena ketika bencana
terjadi, bisa saja seluruh teknologi yang menggunakan energi listrik tidak akan
berfungsi. Semua orang akan kembali menggunakan cara-cara tradisional.
Yang paling penting adalah sikap
kita untuk tetap terus siap dan belajar dalam menghadapi bencana. Menumbuhkan
sifat konservatif terhadap alam demi keberlangsungan hidup di masa yang akan
datang. Dengan menerapkannya di Aceh, saya yakin dan percaya Aceh akan lebih
siap terhadap bencana yang akan datang. Walaupun kita tidak bisa menahan
bencana, setidaknya kita bisa mengurangi dampak bencana yang ada. Mari berdamai dengan bencana, kawan!
Selamat Memperingati 10 Tahun Tsunami Aceh!
Selamat Memperingati 10 Tahun Tsunami Aceh!
Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Blog Kebencanaan #10ThnTsunamiAceh
wowww...tulisan Aslan bagus bangeeeeeet. langsung menuliskan pengalaman di Jepang dan beberapa hal yang belum dierapkan di sini. layak ditiru.
ReplyDeletekayaknya menang nih
Alhamdulillah... makasih kak hehe.. Aamiiin
DeleteSetuju kak ekii. Dapat ilmu baru dari tulisan aslan. Kalau dikirim ke media juga pasti bakalan di muat, soalnya informatif dan banyak orang yang belum tahuuu
ReplyDeleteIya kak hehe.. dulu rencana mau dikirim ke media sih.. tapi kebetulan ada lomba yang sesuai jadi diikutkan :D
DeleteSangat inspiratif dan informatif. Aslan melaporkan langsung dari gudang ilmu kebencanaan. Layak menang ini. :D
ReplyDeleteAaaamiiiin makasih banyaak bang :D
Deletekeren tulisannya lan...:)
ReplyDeleteAlhamdulillah Za :)
DeleteSeperti biasa, dirimu pandai mengelaborasikannya dengan baik, Aslan. Two thumbs up, my beloved brother. In syaa Allah menang ni, Dk. Jangan lupa traktir kk kalo menang. Adalah suatu kewajiban bagi Aslan mentraktir aku yang tidak berpatisipasi dalam lomba ini. Hahaha.... Ganbatte ne. Let Allah do the rest. ^^d
ReplyDeleteAamiin makasih banyak kak
DeleteAslan mengingatkan kembali tentang perjalanan kami belajar di Jepang. Semoga tulisan ini menjadi penyemangat kita semua agar mau terus belajar sehingga menjadi bangsa yang tangguh menghadapi bencana apa pun.
ReplyDeleteAaamiiin makasih banyak duh :>)
DeleteMengkolaborasikan pengalaman di Jepang dengan tulisan yang diikutsertakan dalam lomba Kebencanaan membuat tulisan ini berbeda dari yang lain. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan semoga menjadi pemenang.
ReplyDelete(c)
Aamiin terima kasih Rafi 8-)
DeleteWah keren, konsepnya sudah berjalan sebelum lomba ini dimulai. Yakni : Papa Genk! TJAKEP! Sukses yaa bang.
ReplyDeleteIya Ai hehe... project ini yang ngantar kami ke Jepang. Siiip.. Mohon doanya Ai :>)
DeleteSelamat berjuang, Aslan! Hidup Papa Genk!
ReplyDeletesemoga bisa diaplikasikan di Nanggroe..
ReplyDeleteTulisan yang sangat bagus, Aslan! Mudah-mudahan apa yang telah dipelajari di Jepang bisa diteruskan kepada masyarakat lokal di Aceh. :>)
ReplyDeleteWow wow wow ini tulisan dahsyat sekali. Informatif dan memberikan banyak informasi baru.
ReplyDeletebener-bener informatif tulisannya
ReplyDeleteJepang sudah sangat dewasa menghadapi bencana gempa bumi atau sebangsanya. Safety is number one in Japan. Dan pola pikir mereka terdidik, karena sering membaca buku atau mengkonsumsi informasi yang berguna. Indonesia pasti bisa lebih baik dari Jepang. Dan Blogger sallah satu corong tuk sosialisasi kegiatan bencana (mencegah lebih baik dari pad mengobati).
ReplyDeleteSalam Kenal Kak Aslan Saputra