Header Ads

Jumawi

SEJAK kecil aku dipanggil Jumawi. Tidak ada istimewanya nama itu. Entah sejak kapan aku bisa bermain sulap. Aku masih ingat siapa yang pertama kali aku ubah menjadi seekor kambing jantan, dengan jenggot panjang, dan tanduk yang berbelok. Ia selalu mendesakku untuk mendoakannya agar menjadi binatang. Aku bilang mana mungkin. Aku bukan nabi apalagi Tuhan. Dan sekejap mata ia berubah begitu saja. Tanpa kusebut mantera atau apa pun. Dan dua hari setelah penyulapan itu, ia mati.
Kian hari makin banyak saja orang yang mendatangiku. Sulap ini sulap itu. Sudah seperti kebun binatang saja kampung kami. Kini aku mendapat bayaran atas sulapanku yang aku sendiri belum paham sampai sekarang. Melihat tumpukan uang itu, malah membuatku semakin ngiler. Menjadi-jadilah aku berdrama ria dengan melakukan gerakan-gerakan sulap lebih profesional, agar makin mahal dibayar.
Ada satu pria yang kutaksir umurnya telah berpuluh tahun di atasku, berkacamata, berjalan dengan kaki kiri yang malas. Ia memintaku untuk mengubahnya menjadi seekor kelelawar. Jujur saja selama aku menyulap orang, tidak pernah ada binatang bersayap. Kalau tidak kambing, ya sapi, beruang, anjing, kucing, ataupun tikus. Aku takut ia tidak akan bisa menggunakan sayapnya nanti.
Dan akhirnya benar. Setelah aku menyulapnya, ia segera melompat-lompat sambil mengepakkan sayapnya. Matanya berbinar, seperti menjadi binatang adalah takdir terbaik yang ia miliki. Satu dua ia coba terbang, malah gagal. Hingga kemudian sedikit demi sedikit kakinya melayang di udara. Ia terus bersemangat terbang. Dan sekejap mata, ketika ia merasa telah tinggi di udara, ia langsung disambar elang. Kaki kirinya putus dan jatuh tepat di hadapanku. Ini adalah rekor tercepat pasienku. Dia berhasil mati paling cepat di antara orang yang berubah menjadi binatang.
Rupanya, pria kelelawar itu bukan orang sembarangan. Dia adalah bos dari binatang-binatang lainnya yang pernah aku sulap. Berita kematiannya benar-benar membuat binatang lain kegirangan. Walaupun beberapa di antara mereka juga akan mati. Dan aku mengetahui itu karena dua orang yang mengaku anak buah pria kelelawar itu menangkapku dan memasukkanku ke dalam sebuah karung.
“Jumawi namamu?”
Seorang pria bertubuh besar berdiri di hadapanku dengan sok jagoan. Bahunya lebih tinggi dari dagunya. Sombong nian pria ini.
“Iya, aku di mana sekarang? Kau siapa?”
“Kau Jumawi si pesulap itu?”
Pertanyaanku tidak dijawab, malah ia yang bertanya hal yang sama lagi.
“Iya, aku Jumawi. Aku dimana sekarang?”
“Kau sekarang di penjara. Kau telah melanggar hukum desa kita.”
“Hukum desa? Memangnya menyulap orang itu melanggar hukum?” aku mulai panas. Enak sekali dia bilang aku melanggar hukum.
“Iya. Kau sudah membunuh pemimpin kita.”
Glek. Pemimpin? Apakah yang dia maksud adalah pria kelelawar itu?
“Aku tidak pernah membunuh orang,” aku membela diri.
“Tapi kau membunuh binatang yang awalnya adalah orang!”
Astaga. Aku mulai menggigil. Suara besarnya membuat jantungku menyusut sedemikian rupa. Nafasku seperti disedot paksa.
“Kau harus dihukum mati!”
“Aku mohon tuan. Jangan bunuh aku. Aku akan melakukan apapun yang tuan mau,” aku memelas, sampai-sampai menjilati sepatunya.
Akhirnya aku pun dikeluarkan dari penjara. Aku diberikan ruangan besar dengan kasur dan meja yang di atasnya ada beragam makanan yang tidak pernah aku lihat. Kau tahu kenapa aku diberikan seperti ini? Karena aku berjanji akan mengubahnya pula menjadi binatang apapun yang ia mau. Ternyata pria besar itu juga haus kekuasaan. Sekian lama bersanding dengan pria kelelawar dan menyimpan keinginan nista. Dia munafik.
Aku meminta waktu kepada pria besar itu sebelum ia kuubah menjadi binatang. Aku beralasan bahwa aku harus memulihkan kekuatanku agar bisa mengubah orang menjadi binatang lagi. Aku juga telah mengatakan kepadanya kalau setiap yang aku ubah, tidak berapa lama kemudian akan mati. Dan ia mengiyakan itu. Aneh kan? Untuk apa dia menjadi binatang kalau ujung-ujungnya akan mati juga.
Maka tibalah hari penyulapan pria besar itu. Ia mengundang semua binatang hadir untuk bisa menyaksikannya berubah menjadi seekor binatang. Ia minta untuk diubah menjadi seekor singa. Baiklah, itu cocok dengan tubuh besarnya. Walau aku sampai detik ini belum tahu bagaimana caranya menyulap orang. Semua yang pernah aku sulap selalu saja tiba-tiba. Tanpa mantera atau apapun. Entah kenapa hari ini aku malah gugup. Aku takut salah menyulap. Bagaimana jika ia bukan berubah menjadi seekor singa? Bagaimana jika kali ini aku gagal?
Sorak-sorai penonton yang mayoritas binatang benar-benar membuat acara ini spektakuler. Sahut menyahut terdengar namaku dielu-elukan. Aku disediakan sebuah panggung, dengan dikelilingi kursi penonton. Dan pria besar itu sejak tadi duduk di singgasananya, yang dulu sempat diduduki pria kelelawar.
“Keluarlah Jumawi dan sulaplah aku menjadi seekor singa!”
Pria besar itu telah memanggilku, yang artinya aku harus segera keluar dan harus mengubahnya menjadi seekor singa. Oh tuhan kali ini tolonglah aku.
Maka akupun berjalan keluar ruangan menuju panggung. Bunga-bunga dilempar-lempar ke udara menyemarakkan kedatanganku. Aku masih bingung. Apa hebatnya menjadi seekor binatang? Tahu apa mereka hidup menjadi binatang?
Aku berhenti tepat di hadapan pria besar itu. Menunduk takzim, lalu memintanya untuk duduk bersimpuh di hadapanku. Ketika ia melakukannya, suasana panggung menjadi hening. Semua penonton terdiam mencoba menyaksikan adegan sulap ini dengan khidmat. Aku pun berputar-putar sambil membacakan mantera, agar terkesan hebat dan mantap. Aku memercikkan air ke arah pria besar itu dan berteriak keras ke angkasa, lalu menunjuknya dengan sebatang kayu.
“Jadilah kau singa!”
Tidak ada yang berubah. Semua penonton terheran-heran, begitupun pria besar itu. Keringat dingin mengalir cepat di leherku. Aku masih menunggu, tapi ia tidak juga berubah.
Merasa ada yang tidak beres, segera aku ulangi mantera yang sama, dengan gerakan yang sama pula. Dan ketika aku menunjuknya dengan sebatang kayu, ia belum juga berubah.
“Apa-apaan ini!” Pria besar itu murka, berdiri dan mematahkan kayu yang ada di hadapannya.
Aku ketakutan luar biasa, lalu sekejap mata, tiba-tiba petir menyambar pria besar itu dan mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Duaarr!
Aku, dia dan semua penonton menutup mata dan telinga.
Kini pria besar itu hilang, dan hanya tinggal sebuah ikan mas yang megap-megap membutuhkan air. Semua penonton menganga tidak percaya. Hingga ikan itupun berhenti bergerak dan mati.
Salah satu dari penonton itu pun berteriak, “Paduka yang mulia mati! Jumawi membunuhnya! Tangkap Jumawi! Bunuh dia!”
Segera semua penonton berlari ke arahku. Aku terdiam pasrah, dan jantungku sepertinya telah menyusut kuat. Mungkin di sinilah akhir takdirku. Wajah kuhadapkan ke langit,  semacam berterima kasih kepada Tuhan karena mengizinkanku hidup lebih baik daripada mereka yang sejenisku. Karena aku adalah seekor kera yang tidak akan pernah bisa menjadi manusia.
Karya Aslan Saputra
Tulisan ini dimuat di tribunnews.com
link: http://aceh.tribunnews.com/2014/08/24/jumawi

No comments:

Tinggalkan Pesanmu Di Sini ^^

Powered by Blogger.